Oleh: Imam Nawawi (Sekjend Syabab Hidayatullah)
(Arrahmah.com) – Publik kembali terperangah dengan isu yang sebenarnya belum jelas definisi dan kriterianya selama ini, seperti radikalisme dan intoleransi. Entah apa yang menjadi maksud dan tujuan dari sang penebar, isu tersebut dipompakan sedemikian rupa, seolah-olah bangsa ini sedang mengalami masalah serius dengan radikalisme dan intoleransi.
Isu radikalisme, dalam dua tahun terakhir (2017 dan 2018) dikaitkan dengan aktivitas masjid, tidak tanggung-tanggung, masjid perguruan tinggi yang diteliti, bahkan belakangan masjid di lingkungan pemerintahan, dimana materi khutbah atau ceramah di masjid diteliti – meskipun kadang dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi – dimana paparan dari sang penceramah atau khotib Jumat dinilai mengarah radikalisme.
Dari fakta ini kita bisa ajukan beberapa pertanyaan kritis. Pertama, apakah benar radikalisme itu bersarang di masjid? Kedua, apakah mungkin orang radikal itu rajin dan aktif beribadah di masjid? Ketiga, mengapa masjid yang menjadi lokasi penelitian untuk menemukan pemikiran atau gerakan radikalisme?
Dari pertanyaan tersebut dapat diambil jawaban pasti, mustahil radikalisme itu bersarang dan berkembang di masjid, dimana kemudian jama’ah yang aktif beribadah di dalamnya menjadi pribadi yang bermental dan bertindak destruktif. Sangat tidak mungkin.
Logikanya sederhana, jika memang masjid adalah sarang berkembangnya radikalisme, maka sudah barang tentu Indonesia menjadi negara yang kacau balau, sebab sangat banyak masjid di negeri ini. Dalam satu acara di Balikpapan, Wapres Jusuf Kalla menyatakan bahwa data menyebtukan hampir satu juta masjid di Indonesia, tetapi jumlah pastinya, hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Dengan kata lain, riset yang menjadikan masjid sebagai lokasi penelitian perihal radikalisme bisa disimpulkan telah menodai rumah ibadah sekaligus asosial dan ahistoris. Pada saat yang sama, riset semacam ini sama sekali tidak penting dan menimbulkan mudharat sangat besar di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pada saat yang sama, andai pun masjid terpaksa dijadikan sebagai lokasi penelitian, maka sang peneliti harus memahami betul seluk beluk ajaran Islam, sehingga tidak gagal paham, atau mengedepankan interes tertentu daripada kejujuran, atau menyimpulkan sesuatu yang sesungguhnya jauh dari kebenaran yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, Wapres JK dalam beragam media menegaskan, “Cuma saya bilang, bedakan antara radikal dan amar ma’ruf nahi munkar. Jangan-jangan dia bicara amar ma’ruf nahi mungkar, karena kita tidak senang, dikritik, dia dikatakan radikal, tidak.”
Oleh karena itu, hentikanlah isu radikalisme di Indonesia, selain tidak memiliki relevansi historis yang kuat, secara sosiologis, penduduk atau warga negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam lebih suka bagaimana survive menjalani kehidupan daripada mengambil sikap apatis dengan melakukan tindakan bodoh yang menimbulkan kerusakan tatanan kehidupan masyarakat yang aman dan damai.
Selanjutnya, intoleransi. Istilah ini seperti semacam stempel yang hanya tepat dilabelkan kepada umat Islam. Umat Islam yang tokoh agamanya melarang memilih pemimpin di luar agama Islam dicap intoleran.
Cara berpikir seperti itu jelas sangat rancu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jika kriteria penilaian intoleransi hanya pada masalah tersebut, fakta yang secara logis juga terjadi pada banyak hal. Bukankah di Papua tidak boleh ada kepala daerah yang bisa dipilih selain dari putra daerah. Demikian pula dengan Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Ketika seorang ulama atau tokoh agama mengedukasi kaum Muslimin untuk tidak memilih pemimpin di luar Islam, maka itu adalah bagian dari ajaran Islam sebagai agama. Dan, menjalankan seruan tersebut merupakan hak asasi yang dilindungi Undang-Undang. Jadi, sulit dicerna akal sehat kalau kemudian kelompok tertentu secara gegabah memasukkan hal tersebut dalam kategori intoleransi.
Semestinya intoleransi tidak dipahami secara sepihak, sehingga menimbulkan kerancuan berpikir dan kegaduhan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, dimana setiap tahun selalu ada rilis riset yang mengatakan umat Islam, masjid, atau komunitas tertentu, seperti dahulu disebut juga Rohis, maka sangat wajar jika umat Islam akan bergerak membela diri atas segala stigmatisasi yang tidak berdasar.
Solusi
Pada akhirnya, kita harus bersama-sama sepakat bahwa isu radikalisme dan intoleransi mesti dihentikan. Jika kita ingin, energi bangsa ini diarahkan pada sisi-sisi yang lebih progresif di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam upaya tersebut ada dua langkah setidaknya yang mesti diupayakan secara bersama-sama dimana pemerintah hadir memfasilitasi.
Pertama, selenggarakanlah musyawarah besar bangsa Indonesia yang melibatkan unsur pemuka agama, dari beragam agama di Indonesia, kemudain Kementerian Agama, para cendekiawan dan akademisi, duduk bersama mendefinisikan secara tegas apa itu radikalisme dan intoleransi, dimana hasil dari musyawarah besar tersebut menjadi definisi resmi negara yang dapat dijadikan acuan dalam penindakan secara hukum.
Kedua, mewajibkan setiap lembaga riset yang melakukan penelitian perihal radikalisme dan intoleransi dapat mempertanggungjawabkan secara akademik di ruang terbuka yang diselenggarakan di berbagai kampus Perguruan Tinggi di Indonesia, sehingga hasil riset tersebut dapat dibedah secara objektif, sehingga tidak liar dibahasakan oleh media yang pada kenyataannya juga tidak memahami masalah tersebut secara memadai.
Kedua langkah tersebut adalah upaya paling minimal untuk menjadikan semua pihak di negeri ini dapat mengedepankan kejujuran di dalam segala jenis aktivitasnya, terutama aktivitas riset yang meneliti isu-isu yang belum jelas definisinya, kriterianya, sehingga bisa dipastikan, hasil riset yang dirilis ke publik dapat dipertanggungjawabkan, memberikan nilai faedah besar dalam menjaga persatuan bangsa. Bukan malah menjadi amunisi memecah belah umat, masyarakat dan rakyat, yang berujung pada retaknya nilai-nilai persatuan anak bangsa.
(ameera/arrahmah.com)