(Arrahmah.com) – Alkisah Kaum Saba’ yang hidupnya bermandikan berkah. Ulama ahli tafsir melukiskan, kaum wanita Saba’ tak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu berjalan di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.
Di negeri Kaum Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka (Tafsir Ibnu Katsir, 3/531).
Menurut Kamus Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta, kata “berkah” memiliki beberapa makna. Antara lain: Karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan kepada kehidupan manusia, misalnya dalam kalimat: Mudah-mudahan Tuhan melimpahkan berkatnya kepada kalian. Dalam bahasa Imam al-Asfahani, berkah berarti tsubut al-khayr al-ilahy (adanya kebaikan Tuhan).
Di dalam al-Qur’an, kata baraka dengan berbagai kata derivasinya muncul sebanyak 31 kali. Dan, semuanya mengacu kepada arti tsubut al-khayr al-ilahy
Diantaranya adalah ayat: “Jikalau sekiranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka “berkah” dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat (Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Kata barakat dalam ayat di atas berarti kebaikan Tuhan. Kebaikan itu tidak diterima begitu saja oleh manusia. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mendapatkannya.
Dalam surat al-A’raf ayat 96, misalnya, Tuhan mengaitkan pemberian-Nya (berkah) dengan keimanan dan ketaqwaan. Kebaikan itu dapat muncul dari langit dan dari bumi. Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi, penulis Tafsir al-Maraghi, berkah dari langit mencakup pengetahuan yang diberikan Tuhan dan ilham (bimbingan)-Nya dan dapat pula berarti hujan dan semacamnya yang mengakibatkan kesuburan dan kemakmuran tanah. Sedangkan berkah dari bumi adalah tumbuhnya tanaman setelah turunnya hujan dari langit.
Lebih lengkapnya, al-Maraghi menafsirkan bahwa seandainya penduduk suatu negara beriman kepada apa-apa yang dibawa oleh Rasul Tuhan, misalnya mentauhidkan-Nya, dan menjauhkan diri dari kemusyrikan dan tidak membuat kerusakan di bumi, maka Tuhan akan memberikan kebaikan (berkah). Berkah itu berupa turunnya hujan dari langit yang menyuburkan tanah. Akibatnya, makmurlah kehidupan penghuni bumi. Berkah lain adalah berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman terhadap sunatullah (hukum alam).
Ringkasnya, menurut al-Maraghi, bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa, Allah akan memperluas kebaikan kepada mereka dalam segala segi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT: “(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun” (Saba : 15).
Taqwa, mengutip Imam Nawawi, adalah ”menaati perintah dan larangan-Nya”. Atau dalam bahasa Imam Al Jurjani: ”Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.”
Bila menghendaki kehidupan berlimpah berkah, maka warga Ibukota seyogyanya memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa. Yaitu pemimpin bertauhid yang berkomitmen menegakkan misi utama kenabian yakni menegakkan Tauhid (QS 16:36).
Karena itu, kita, umat Islam, diperingatkan oleh Rasulullah SAW agar sangat berhati-hati memilih pemimpin. “Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin padahal sudah tahu ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) ketimbang orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya” (HR Al-Hakim).
(*/arrahmah.com)