Oleh : Abdullah Al Jirani
(Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam Darul Hikmah)
(Arrahmah.com) – Menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), jika wanita hamil dan menyusui meninggalkan puasa, wajib bagi keduanya untuk mengqadha’nya (menggantinya) di lain waktu, bukan fidyah. Perbedaan yang ada di antara mereka hanya terletak pada masalah diiringi dengan fidyah atau tidak. Tapi masalah qadha bagi keduanya, mereka sepakat.
Ringkasannya sebagaimana berikut:
- Hanafiyyah = Mengqadha tanpa diringi bayar fidyah secara mutlak, siapapun yang dikhawatirkan, baik untuk ibu hamil atau menyusui.
- Syafi’iyyah dan Hanabilah = Mengqadha dan diiringi membayar fidyah jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan diri mereka berdua atau diri mereka dan anaknya, maka mengqadha saja. Karena masyarakat di Indonesia mayoritas bermadzhab Syafi’i, maka kita pakai pendapat ini.
- Malikiyyah : Mengadha dan diiringi dengan membayar fidyah khusus bagi ibu menyusui. Kalau wanita hamil, hanya mengqadha saja.
Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili Asy-Syafi’i menyatakan :
وإذا أفطرتا وجب القضاء دون الفدية عند الحنفية، ومع الفدية إن خافتا على ولدهما فقط عند الشافعية والحنابلة، ومع الفدية على المرضع فقط لا الحامل عند المالكية
“Apabila keduanya (wanita hamil dan menyusui) berbuka, maka wajib mengqadha’nya saja tanpa fidyah menurut Hanafiyyah. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, jika mereka berdua mengkhawatirkan anaknya saja, maka diiringi fidyah. Sedangkan menurut Malikiyyah, diiringi dengan fidyah bagi wanita yang menyusui saja, bukan untuk wanita hamil.” [ Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu : 3/1701 ].
Penetapan ini diambil dari jalan qiyas (analogi), dimana wanita hamil dan menyusui diqiyaskan kepada orang sakit karena memiliki ‘illat (sebab hukum) yang sama, yaitu suatu halangan yang sifatnya temporer (untuk sementara waktu saja), tidak bersifat dawam (terus-menerus).
Ada sebuah pendapat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, bahwa wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah saja. Namun pendapat ini selain tidak masyhur juga merupakan pendapat yang marjuh (lemah) karena menyelisihi dalil dan qiyas. Mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui kepada orang yang sudah tua renta, merupakan pengiyasan yang tidak tepat.
Di samping itu, pendapat ini dikesampingkan oleh para ulama mujtahidin dari empat madzhab. Jika kuat, tentu tidak akan mereka tinggalkan. Riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas ialah yang mewajibkan qadha’ bagi keduanya dan ini lebih sesuai dengan dalil dan qiyas. Maka riwayat yang dipakai dari beliau, riwayat yang mewajibkan qadha’.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menyatakan :
الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض، إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر، وعليهما القضاء عند القدرة على ذلك، كالمريض، وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم: إطعام مسكين، وهو قول ضعيف مرجوح، والصواب أن عليهما القضاء كالمسافر والمريض
“Hukum wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukum orang sakit. Apabila mereka berdua merasa berat untuk puasa, maka disyari’atkan berbuka bagi keduanya, dan wajib bagi keduanya untuk qadha (mengganti di waktu yang lain) ketika telah mampu untuk melakukannya seperti orang yang sakit. Sebagian ahli ilmu berpendapat, bahwa keduanya cukup mengeluarkan makanan (fidyah) kepada orang miskin sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. Ini merupakan pendapat yang sangat lemah. Yang benar, sesungguhnya wajib atas keduanya untuk mengqadha’ sebagaimana musafir dan orang yang sakit.” [Majmu’ Fatawa : 15/225].
Hal senada juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin serta para ulama KSA yang lainnya.
Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.
(*/arrahmah.com)