JAKARTA (Arrahmah.com) Istri mana yang tidak sedih ketika mengingat kembali kemesraan dan kehidupannya yang indah bersama suami tercinta. Apalagi jika sang suami kemudian pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya. Hal itulah yang terjadi pada Putri Munawaroh, istri dari syahid (Insya Allah) Susilo Adib, yang ditembak Densus 88, 17 September 2009 di Jebres, Solo.
Tangisan Ketika Pledoi Dibacakan
Hari itu, Selasa, 6 Juli 2010, di PN Jakarta Selatan, ruang sidang utama, Putri Munawaroh membacakan sendiri pledoi (pembelaannya) atas tuntutan dzolim JPU yang menuntutnya dengan kurungan 8 tahun penjara. Tim jaksa setelah beberapa kali persidangan menyatakan bahwa Putri Munawaroh bersalah karena turut serta membantu tindak pidana terorisme dengan memberikan kemudahan kepada para pelaku terorisme. Putri secara dzolim dijerat dengan Pasal 13 huruf b Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 75 Th 2003 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Putri Munawaroh sama sekali tidak merasa telah melakukan kesalahan-kesalahan sebagaimana tuntutan JPU di atas, karena dirinya memang hanya bertindak sebagai seorang istri yang patuh dan taat kepada suaminya. Hal itulah yang disampaikannya dalam pembacaan pledoi di PN Jaksel, tepat pukul 15.00 WIB.
Mengenakan jubah serta burqa hitam, Putri Munawaroh membacakan hak-haknya yang terdzolimi. Putri pun tak kuasa menghalau haru teringat suami tercinta yang telah membelanya hingga nafas terakhir. Sesekali Putri terdengar terisak-isak tak kuasa menahan kesedihannya. Putri teringat suaminya, Susilo Adib. Puteri Munawaroh menguraikan ia dan suaminya, almarhum Susilo Adib adalah pasangan suami-istri yang menjalani kehidupan rumah tangga berlandaskan nilai-nilai keislaman.
“Kami hidup dalam kesederhanaan. Suami mengajar di Pondok Al Kahfi. Saya sendiri adalah ibu rumah tangga biasa. Tapi, kehidupan kami penuh dengan kebahagiaan dan semakin bertambah saat saya dinyatakan mengandung si buah hati,” tutur Putri Munawaroh sambil sesekali terisak.
Jamuan Kepada Tamu-Tamu Putri
Pada April 2009, Putri Munawaroh dan Susilo Adib mengontrak sebuah rumah di Kampung Sari RT 03/11 Mojosongo, Jebres, Solo, milik Sri Indrasari selama satu tahun seharga Rp1,4 juta. Kemudian secara bertahap mereka menerima tamu, yang Putri sendiri tidak tahu siapa-siapa tamunya tersebut. Putri hanya mengenal mereka-mereka tamunya tersebut sebagai seorang ustadz dan tidak memiliki prasangka buruk apapun kepada mereka semua.
Sebagai seorang muslim, Putri Munawaroh merasa wajib untuk menerima tamunya, melayani, dan menjamunya. Karena dalam Islam, memuliaakan tamu adalah kewajiban utama. Putri tidak menduga bahwa ternyata tamu-tamunya tersebut adalah DPO kepolisian Indonesia yang tengah dicari-cari atas peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriott-Ritz Carlton di Mega Kuningan, Jakarta, tahun lalu.
Putri Munawaroh dan suaminya menyediakan tempat menginap dan menyediakan makanan. Hal itu dilakukan setelah peristiwa pengeboman di dua hotel itu terjadi. Putri Munawaroh dan suaminya dituduh tidak melapor kepada RT setempat perihal adanya tamu yang menginap selama 2,5 bulan di rumah mereka. Ia juga dituduh sering mengunci rumah setiap kali hendak pergi supaya orang tak mengetahui keberadaan tiga buron tersebut.
Putri Munawaroh menyangkal semua tuduhan tersebut. Dalam pledoinya, Putri Munawaroh menyebutkan bahwa tindakannya yang mengunci rumah ketika hendak pergi bukan bermaksud menyembunyikan tamu, tapi agar harta-harta mereka dapat terlindungi dari orang-orang jahat.
Akhirnya, Putri Munawaroh ditangkap pada penggerebekan 17 September 2009 di Kampung Sari RT 03/11 Mojosongo, Jebres, Solo. Alhamdulillah, Puteri Munawaroh selamat karena dilindungi oleh suaminya yang dengan gagah berani membelanya, meski tertembak tetap melindungi istri tercintanya dan buah hati yang sedang dikandungnya. Akhirnya Putri Munawaroh menjadi satu-satunya tersangka yang selamat dan saksi hidup peristiwa yang sangat dramatis tersebut. Saat tertembak, Putri Munawaroh tengah mengandung tiga bulan janin anaknya, yang kini terlahir sehat dengan nama Ahsan.
Dalam penutup pledoinya, Putri Munawaroh meminta kepada majelis hakim sebuah harapan sebagai berikut :
“Saya berharap dalam memutuskan perkara ini menghandung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral kepada Allah,” tutunya.
Semoga Allah SWT Yang Maha Adil mendengar doa dan pintamu saudariku, Putri Munawaroh, Insya Allah!
(M Fachry/arrahmah.com/berbagai sumber)