TRIPOLI (Arrahmah.com) – Saif Al Islam Khaddafi, putra mantan pemimpin Libya Muammar Qaddafi, pada Jumat (30/7/2021) mengatakan bahwa dia akan kembali terjun ke politik. Hal itu diungkapkan dalam wawancara pertama Saif Al Islam kepada The New York Times sejak menghilang sepuluh tahun lalu.
“Sekarang saya orang bebas, dan saya berencana untuk kembali ke panggung politik,” ujar Saif Al Islam, dilansir Middle East Monitor, Ahad (1/8).
Saif Al Islam, selama menghilang dia tetap memantau situasi politik di Timur Tengah. Dia secara diam-diam mengatur kembali kekuatan politik yang berafiliasi dengan ayahnya, yang dikenal sebagai Gerakan Hijau.
Saif Al Islam memiliki keraguan tentang kemungkinan mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, dia percaya bahwa gerakan yang dipimpinnya dapat memulihkan persatuan negara yang hilang.
“Mereka telah mempermalukan negara kami. Kami tidak punya uang, tidak ada keamanan, dan tidak ada kehidupan. Jika Anda pergi ke pompa bensin, Anda tidak akan menemukan bahan bakar,” ujar Saif Al Islam.
“Kami mengekspor minyak dan gas ke Italia, dan kami menyediakan setengah pasokan listrik ke Italia, sementara kami mengalami pemadaman listrik. Apa yang terjadi sekarang telah berada di luar batas kegagalan. Ini adalah lelucon,” kata Saif Al Islam menambahkan.
Tentang kepergiannya selama bertahun-tahun, The New York Times melaporkan bahwa sepuluh tahun yang lalu, sekelompok pria bersenjata mencegat konvoi kecil di dekat kota Ubari di Libya. Konvoi itu mencoba melarikan diri ke selatan menuju Niger.
Ketika dilakukan pemeriksaan, kelompok tersebut menemukan seorang pemuda botak menutupi tubuhnya. Sementara tangan kanan pemuda itu dibalut dengan perban. Pada akhirnya kelompok bersenjata tersebut mengetahui bahwa pemuda itu adalah Saif Al Islam.
Ketika itu, Saif Al Islam sedang dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional. Dia dianggap sebagai sandera yang berharga, sehingga kelompok bersenjata itu menahannya sampai setelah pemilu 2012.
Keemudian mereka membebaskan Saif Al Islam setelah perkembangan yang terjadi di Libya. Selama Saif Al Islam ditahan tidak ada yang tahu keberadaannya.
The New York Times mengutip Saif Al Islam melaporkan bahwa, para militan yang menangkapnya sepuluh tahun lalu telah kecewa dengan revolusi. Hal itu membuat Saif Al Islam akhirnya menyadari bahwa dia bisa menjadi sekutu yang kuat bagi mereka.
Pendukung mantan rezim Libya bercita-cita untuk kembali berkuasa melalui rekonsiliasi nasional, serta pemilihan presiden dan parlemen yang dijadwalkan pada akhir tahun 202.
Meskipun skenario itu tidak mungkin, loyalis Khaddafi tidak menyembunyikan keinginan mereka untuk mencalonkan Saif Al Islam sebagai presiden berikutnya.
Sepupu Saif Al Islam, Ahmed Gaddaf Al Dam telah mempertahankan kekayaannya. Hal itu akan memungkinkan Ahmed Gaddaf untuk membiayai Saif Al Islam agar kembali berkuasa.
Rakyat Libya yang berpartisipasi dalam revolusi pada 17 Februari 2011, dan menggulingkan rezim Qaddafi, khawatir bahwa putranya akan membalas dendam ketika kembali terjun ke politik. (hanoum/arrahmah.com)