TRIPOLI (Arrahmah.com) – Saif al Arab lolos dari serangan udara AS yang menargetkan tempat persembunyian ayahnya di Tripoli pada tahun 1986. Dua puluh lima tahun kemudian, putra pemimpin Libya termuda kedua ini dilaporkan tewas dalam serangan udara NATO, kutip Washington Post pada Senin (2/5/2011).
Melalui statsiun televisi pemerintah, pejabat Libya mengumumkan bahwa Saif al-Arab tewas bersama dengan tiga cucu Muammar Gaddafi dalam serangan udara NATO terhadap rumahnya di Ghargour. Sementara Gaddafi dan istrinya berhasil melarikan diri, menurut pejabat Libya.
Saif al-Arab (29) merupakan salah satu anak Gaddafi yang paling menonjol karena selalu dinilai tidak memiliki kecenderungan politik atau militer yang jelas. Ia jelas berusaha menghindari persaingan saat saudara-saudaranya berebut kekuasaan.
Saif al-Arab berusia empat tahun ketika pesawat tempur AS melepaskan bom ke tempat persembunyian ayahnya di Bab al-Azaziya tahun 1986 setelah Libya disalahkan karena mendalangi pengeboman di Berlin Barat yang menewaskan seorang tentara Amerika dan seorang perempuan. Adiknya tirinya yang berusia 15 bulan tewas dan Khamis, adik kandungnya, terluka parah dalam serangan itu.
Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jerman, untuk belajar ekonomi.
Kakaknya, Saif al-Islam, diyakini telah dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya. Sementara adiknya yang termuda, Khamis Gaddafi (27), memimpin sebuah brigade elit militer yang dikenal sebagai pasukan Libya terlatih.
Tiga saudaranya yang lain yakni Al-Saadi, Al-Moatassem, dan Hannibal, berkecimpung dalam militer, penasihat kebijakan nasional, dan atau pelaku bisnis, dan baru-baru mulai bersaing dengan Saif al-Islam, yang tampaknya memonopoli ayahnya dan menarik perhatian internasional, menurut kabel diplomatis AS yang diterbitkan oleh WikiLeaks.
Memo diplomatis itu menggambarkan persaingan antar saudara yang diperkirakan akan berdampak buruk bagi transisi politik Libya menjelang pergolakan. Satu-satunya putri Gaddafi, Aisha, yang merupakan seorang pengacara, juga berlomba-lomba untuk memiliki peran penting dalam kekuasaan Libya dan sering tidak sejalan dengan Saif al-Islam.
Selain itu, memo lain yang ditulis pada tahun 2009 menggambarkan sebuah kompetisi kekuasaan antara sesama saudara kandung, namun Saif al-Arab tidak ambil bagian.
Meskipun demikian, ia tetap seperti saudara-saudaranya yang berambisi untuk hidup mewah. Dia telah bertahun-tahun tinggal di Munich dan menjadi incaran pengadilan di sana. Anak-anak Gaddafi yang flamboyan rata-rata terlibat dalam sejumlah tuntutan hukum di Eropa, baik karena ugal-ugalan dalam mengendarai maupun penyalahgunaan alkohol.
Pada tahun 2006, ia terlibat dalam perkelahian dengan tukang pukul di klub malam di Munich yang karena ia mencoba untuk menanggalkan pakaian di lantai dansa, majalah Jerman, Der Spiegel, melaporkan.
Pada tahun 2007, rumahnya digrebeg oleh polisi atas tuduhan memiliki senjata ilegal, meskipun ia tetap menikmati kekebalan diplomatis.
Antara November 2006 dan Juli 2010, polisi memimpin investigasi terhadap 10 pelanggaran yang dilakukan oleh putra Gaddafi ini.
Media Jerman melaporkan Saif al-Arab kembali ke Libya pada bulan Februari dan Kementerian Dalam Negeri Bavaria kemudian mengatakan dia telah dinyatakan sebagai persona non grata (orang yang tidak dikehendaki).
Jurubicara pemerintah Libya Moussa Ibrahim adalah orang pertama yang mengumumkan bahwa Saif al-Arab tewas dalam serangan udara pada hari Sabtu (30/4). (althaf/arrahmah.com)