MOSKOW (Arrahmah.com) – Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa Rusia akan terus mengembangkan senjata nuklir tetapi tidak berniat untuk menggunakannya.
Putin membuat komentar tersebut dalam sebuah film dokumenter yang bertajuk “World Order” yang ditayangkan di televisi pemerintah hari Ahad malam (20/12/2015), sebagaimana dilansir oleh CBS News.
“Rusia sebagai negara nuklir terkemuka akan meningkatkan senjata ini sebagai faktor penahanan; triad nuklir adalah dasar dari kebijakan keamanan nuklir kami,” katanya, mengacu pada tiga sistem pelepasan utama untuk hulu ledak nuklir – pesawat pengebom, rudal balistik antarbenua dan kapal selam ICBM.
“Kami tidak pernah mengacungkan dan tidak akan menodongkan kelompok senjata nuklir ini, tapi doktrin militer kami mengalokasikan sebuah tempat dan peran,” katanya, menurut kutipan yang dilaporkan oleh kantor berita Rusia Tass.
Putin dan NATO telah terlibat debat terbuka dalam beberapa tahun terakhir terkait kemampuan penangkal nuklir Rusia. Pada bulan November, presiden Rusia berjanji untuk menangkal program pertahanan rudal AS yang dipimpin NATO dengan mengerahkan senjata penyerang baru yang mampu menembus perisai rudal AS.
Putin mengatakan kepada para pejabat pertahanan bahwa dengan mengembangkan pertahanan terhadap rudal balistik, Washington bertujuan untuk menetralkan penangkal nuklir strategis Rusia dan mendapatkan keunggulan militer yang mutlak.
Dia juga mengatakan bahwa Moskow akan merespon dengan mengembangkan sistem rudal penyerang yang mampu menembus setiap sistem pertahanan rudal AS.
“Selama tiga tahun terakhir, perusahaan-perusahaan industri militer telah menciptakan dan berhasil menguji sejumlah sistem senjata prospektif yang mampu melakukan misi tempur di sistem pertahanan rudal berlapis. Sistem semacam itu sudah mulai memasuki militer tahun ini . Dan sekarang kita berbicara tentang pengembangan senjata jenis baru,” kata Putin.
Pernyataan Putin mengenai senjata nuklir terjadi di tengah tekanan berat dalam hubungan Rusia dengan AS dan sekutu NATO-nya, yang telah jatuh ke titik terendah sejak Perang Dingin selama krisis di Ukraina dan Suriah.
(ameera/arrahmah.com)