MOSKOW (Arrahmah.id) — Presiden Rusia Vladimir Putin menunjuk jenderal baru untuk memimpin perang Rusia di Ukraina. Diketahui, Putin menunjuk Jenderal Alexander Dvornikov, seorang mantan komandan operasi militer Rusia di Suriah pada 2015, yang dikenal Si Penjagal Suriah.
Pejabat Amerika Serikat (AS) dan Eropa menilai penunjukan Dvornikov ini berarti Rusia telah mengakui kemunduran rencana militernya.
“Ini menunjukkan pengakuan Rusia bahwa itu (rencana militer) berjalan sangat buruk dan mereka perlu melakukan sesuatu yang berbeda,” ujar pejabat Eropa, dikutip dari CNN (10/4/2022).
Mantan duta besar Inggris untuk Rusia, Sir Roderic Lyne, mengatakan kepada Sky News, Moskow telah menunjuk seorang jenderal baru dengan “rekam jejak yang cukup biadab di Suriah untuk mencoba setidaknya mendapatkan beberapa wilayah di Donetsk yang dapat dihadirkan Putin sebagai kemenangan.”
Dvornikov, yang saat ini berusia 60 tahun, merupakan komandan pertama operasi militer Rusia di Suriah usai Putin mengirim pasukannya ke sana pada September 2015 untuk mendukung pemerintah Presiden Bashar Al-Assad, sebagaimana dilansir CNN.
Di bawah komando Dvornikov, pesawat Rusia membombardir lingkungan padat penduduk dan menyebabkan banyak korban sipil.
Tak hanya itu, penggunaan senjata kimia juga dilakukan selama invasi Rusia ke Suriah untuk mendukung rezim Assad.
Mengutip Metro, Dvornikov dianugerahi penghargaan militer tertinggi Rusia pada 2016.
Seorang pejabat anonim mengatakan, dipilihnya Dvornikov lantaran ia memiliki banyak pengalaman operasi-operasi Rusia di Suriah.
Karena itu, ia diharapkan bisa mengatur kembali Distrik Militer Selatan menjadi kelompok kekuatan gabungan yang mampu beroperasi secara efektif di darat, laut, dan udara.
Alexander Dvornikov diyakini dalang di balik penembakan mengerikan di stasiun kereta api yang dipenuhi wanita dan anak-anak.
Serangan rudal itu menewaskan sedikitnya 52 orang dan 300 lainnya terluka di Kramatorsk di wilayah timur Donetsk, menurut laporan pejabat Barat.
Dikutip dari Mirror, sisa-sisa rudal ditemukan di dekat jasad warga sipil dengan tulisan “untuk anak-anak” dalam bahasa Rusia.
Insiden ini dianggap Ukraina sebagai serangan yang disengaja oleh pasukan Rusia.
“Mereka ingin menebar kepanikan dan ketakutan, mereka ingin mengambil sebanyak mungkin warga sipil,” katanya, seraya menambahkan bahwa ribuan warga sipil berada di stasiun ketika roket menghantam.
Pavlo Kyrylenko, gubernur wilayah Donetsk di mana Stasiun Kramatorsk berada, mengklaim roket yang menghantam stasiun itu berisi munisi tandan yang meledak di udara, kemudian menyemprotkan bom kecil yang mematikan ke area yang lebih luas.
Munisi tandan merupakan senjata yang penggunaannya telah dilarang di bawah konvensi 2008.
Lebih lanjut, gubernur ini mengunggah sebuah foto yang menunjukkan beberapa mayat di samping tumpukan koper dan barang bawaan lainnya.
Kementerian Pertahanan Rusia, dilaporkan kantor berita RIA, mengatakan bahwa rudal yang menghantam stasiun tersebut hanya digunakan oleh militer Ukraina.
Pihaknya mengaku bahwa angkatan bersenjata Rusia tidak menargetkan apapun di Kramatorsk pada Jumat (8/4) ini.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan tidak ada pasukan Ukraina di stasiun itu.
“Pasukan Rusia (menyerang) di stasiun kereta biasa, pada orang biasa, tidak ada tentara di sana,” katanya kepada parlemen Finlandia dalam sebuah video. (hanoum/arrahmah.id)