JAKARTA (Arrahmah.com) – Dusun Onggong Daya, Desa Teniga, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, merupakan daerah terdampak, saat terjadi gempa bumi dahsyat berkekuatan 7 skala Richter, pada Ahad (5/8/2018) lalu.
Banyaknya korban gempa dan kerugian materil, menarik simpati berbagai lembaga sosial kemanusiaan.
Namun ironisnya, ada pihak-pihak yang tak bertanggung jawab yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, menjadikan para korban gempa, sebagai obyek kristenisasi.
Tim Badan Investigasi Front Pembela Islam (BIF), melakukan investigasi, di Dusun Onggong Daya, Desa Teniga setelah mendapatkan informasi video viral adanya dugaan Kristenisasi di desa tersebut.
Seorang aparat dusun, mengaku sempat berpapasan dengan serombongan orang yang membawa bantuan kemanusiaan.
Dari keterangan aparat desa setempat, ia menyampaikan sekelompok orang yang diduga misionaris tersebut kemudian datang ke Dusun Onggong Daya, pada Jum’at (24/8/2018).
“Mereka mengumpulkan perempuan dan anak-anak menjelang waktu Shalat Jumat. Rombongan tersebut kemudian menawarkan kepada warga yang laki-laki untuk menunaikan shalat berjamaah. Akhirnya, seluruh warga laki-laki pergi ke masjid untuk shalat Jumat. Saat itulah, rombongan yang diduga misionaris tersebut melaksanakan kegiatan trauma healing. Mereka mengajak ibu-ibu dan anak-anak untuk bernyanyi dan bersorak. Pada saat itu juga, salah seorang dari rombongan tersebut mencipratkan segelas air kepada ibu-ibu dan anak-anak yang hadir,” ujar Aziz Yanuar, SH, MH, pengacara dari Pusat Hak Asasi Muslim (PUSHAMI), yang mendapatkan hasil laporan dari BIF, saat diwawancara wartawan, Senin (3/9/2018).
Peristiwa dugaan kristenisasi itu, terekam kamera ponsel Dewi Handayani, mahasiswa STIKES, warga lokal yang juga menjadi korban dari gempa Lombok. Dewi adalah korban gempa yang rumahnya hancur, rata dengan tanah.
Dewi Handayani selain sebagai korban bencana dia juga ikut terjun menjadi relawan di pengungsian sebagai team trauma healing. Saat dia sebagai relawan itulah, dia melihat adanya dugaan praktek kristenisasi, yang lalu dia videokan.
Hasil video tersebut kemudian ia share di media sosial sambil bertanya “misionaris kah ini?” sekali lagi pertanyaan bukan pernyataan.
BIF, melanjutkan investigasi dengan meminta kesaksian tokoh setempat. Ternyata ditemukan pula adanya pembagian matras yang bertuliskan ayat-ayat injil dan tulisan Yesus Kristus. Kemudiana ia menyerahkan matras tersebut kepada salah seorang relawan sosial kemanusiaan yang beraktivitas di wilayah tersebut.
“Relawan itu kemudian mengajak relawan lainnya untuk mendokumentasikan matras tersebut. Video tersebut juga sama viralnya di media sosial,” ujar Aziz.
Ironisnya, menurut Aziz, bukannya para aktivis kemanusiaan yang berhasil membongkar upaya dugaan pemurtadan itu mendapat apresiasi, namun justru harus berususan dengan polisi.
Sebanyak tujuh relawan sebuah lembaga sosial kemanusiaan dipanggil ke Polres Mataram untuk diperiksa aparat, pada hari Sabtu (25/8/2018). Pemeriksaan berlangsung hingga pukul 03.30 WIB pagi secara marathon tanpa didampingi kuasa hukum.
“Relawan kemanusiaan itu dijerat dengan Pasal 45 ayat 2 junto Pasal 28 ayat 2 UU ITE dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun. Penyidik menyebut ucapan relawan tentang kristenisasi tidak berdasar karena tidak ditemukan bukti-bukti adanya kristenisasi di TKP,” ungkap Aziz.
Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang diduga para misionaris yang melakukan dugaan kegiatan kristenisasi kepada warga Muslim, korban gempa Lombok.
Menurut penyidik, berdasarkan hasil BAP kepada salah satu dari rombongan yang diduga misionaris tersebut, yaitu Ibu Liliana dari Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, warga setempatlah yang meminta matras tersebut kepada rombongan misionaris. Warga meminta kemudian sempat tidak dikasih, lalu warga sendiri yang mengambil matras itu dari rombongan misionaris. Kronologis ini berbeda dengan penuturan warga Dusun Onggong Daya. Saat ditanya lebih lanjut soal BAP kepada Ibu Liliana, penyidik tidak dapat menunjukkan berkasnya.
Menyikapi hal tersebut, Ormas Islam, para ulama dan tokoh masyarakat Lombok, yang diinisiasi MUI NTB, menggelar rapat di Gedung MUI Provinsi NTB Jalan Pejanggik No 4, Kota Mataram, NTB, pada Kamis (30/8/2018).
Pada kesempatan tersebut melahirkan beberapa rekomendasi, di antaranya; mencabut pernyataan bahwa kejadian tersebut tidak benar adanya dan bukan berita bohong. Kemudian, mengusut kasus tersebut dengan sebaik-baiknya dengan tidak memposisikan pembuat dan penyebar video rekaman sebagai sumber permasalahan (tersangka).
“Menangkap terduga para pelaku penyebaran misi agama tertentu dan memproses sesuai UU yang berlaku. Menjalankan SKB 2 Menteri antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979,” imbuh Aziz.
Berikutnya, menyusul Dewi Handayani dipanggil untuk diperiksa aparat, pada Jum’at (31/8/2018). Dewi mengaku takut, namun setelah beberapa jam diperiksa sebagai saksi, menjelang magrib, ia akhirnya dibebaskan dan dikawal oleh para aktivis Islam.
Aziz Yanuar melihat tindakan aparat kepolisian berat sebelah dalam menyikapi kasus dugaan kristenisasi ini.
Pasalnya, pihak-pihak yang membongkar kasus tersebut justru ditekan, bahkan ditersangkakan. Sementara pihak yang diduga misionaris Kristen yang telah melakukan kegiatan menyinggung SARA, hingga kini tak ditetapkan sebagai tersangka.
“Kami mengharapkan tindakan professional dari pihak berwajib dan aparatur pemerintahan, terkait banyaknya fakta dan kesaksian dari warga terkait upaya kristenisasi tersebut. Sangat disayangkan ketika pihak kepolisian hanya menerima penjelasan dari pihak terduga yang melakukan upaya kristenisasi tersebut dan terkesan berat sebelah, karena malah menahan KTP dari para pihak yang terlibat dalam membongkar dugaan upaya kristenisasi kepada para korban bencana alam,” tandasnya.