JAKARTA (Arrahmah.com) Tindakan yang dilakukan anggota Kopassus yang membunuh empat preman di Lapas Cebongan, Sleman, DIY telah melanggar hukum. Hal yang sama juga dilakukan Densus 88 yang membunuh, menculik dan menangkap terduga teroris.
“Dua kasus tersebut mutlak pelanggaran hukum dan abuse of power. Kebijakannya harus dikoreksi,” kata Direktur Pengkajian Kebijakan Publik, Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI), Jaka Setiawan seperti dilansir dari itoday, Rabu (10/04).
Kata Jaka, selama ini semua jenis tindak pidana militer (military offenses) maupun umum (civil offenses) yang dilakukan oleh anggota TNI dan Polri diproses melalui peradilan militer. “Hal ini harus dikaji dan ditata kembali,” ungkap Jaka.
Jaka menyoroti tindakan Densus 88 yang sudah banyak melanggar HAM dengan menembak maupun menculik terduga teroris. “Khusus untuk Densus 88 dari sudut pandang kebijakan publik sudah bisa dibubarkan. Sudah banyak bukti yang disampaikan oleh masyarakat,” jelas Jaka.
Selain itu, Jaka menyoroti beberapa LSM seperti Kontras, Imparsial yang lebih kritis terhadap tindakan TNI daripada Densus 88.
“Kalau boleh saya menduga mereka trauma terhadap kebijakan TNI ketika Orba. Kita seharusnya menilai secara proporsional karena TNI sedang melakukan reformasi internal. jaman sudah berubah,” papar Jaka.
Selain itu, kata Jaka geopolitik dan strategis global juga sedang mengalami trend terhadap reformasi profesionalisme militer sejak pasca reformasi.
“Dampaknya bagi negara berkembang, militer dikebiri dan polisi sebaga civil order diperkuat. kebijakan ini diadopsi oleh negara-negara founding yang kemudian dijalankan agendanya oleh LSM liberal sebagai watch dog founding asing,” pungkas Jaka.
(itoday/arrahmah.com)