Oleh Nazwa Hasna Humaira
Aktivis Dakwah
Kejadian adanya pungli parkir yang terjadi di daerah Taman Uncal Pemkab Bandung membuat Bupati Dadang Supriatna bertindak. Ia meminta bantuan kepada Satgas Saber Pungli. Hal ini dilakukan agar masyarakat tertib dengan aturan yang seharusnya. (Ayobandung.com, 19/02/2024)
Akibat maraknya pungli di sekitar masyarakat seperti di Kab Bandung tak dipungkiri membuat resah dan tidak nyaman. Indonesia bahkan disebut sebagai negeri pungli, walaupun banyak kasus lainnya yang juga banyak terjadi di negeri ini. Setiap ada celah menguntungkan, apapun bisa dikenai pungli. Pungli nyaris ada pada semua lini kehidupan: sekolah, instansi pemerintahan, transportasi, area parkir, terminal, pelabuhan, bandara, rumah sakit, pasar, industri manufaktur, bahkan kadang lembaga yang mengurus agama dan kematian.
Pungli ataupun pungutan liar adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang, pegawai atau pejabat pemerintah dengan meminta pembayaran sejumlah uang yang tak pantas ataupun tidak berdasarkan kepada persyaratan pembayaran yang ada. Pungli merupakan sebuah tindak pelanggaran hukum yang diatur dalam KUHP. Dalam KUHP, pelaku pungli dijerat dengan Pasal 368 ayat 1 yang isinya: “Siapapun yang mengancam atau memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu terancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Jerat hukum itu berlaku untuk pelaku pungli yang bukan termasuk aparat kepolisian atau pemerintahan. Misalnya preman. Adapun jika pelaku merupakan pejabat, aparatur sipil negara, atau penegak hukum, praktik pungli itu ditindak sesuai dengan aturan dalam badan pemerintahan. Contohnya kepolisian. Anggota polisi yang melakukan pungli ditindak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang peraturan disiplin anggota Polri. Sanksinya beragam, mulai dari teguran hingga pemecatan. (nas.polri.go.id)
“Tidak ada asap tanpa api,” sama seperti kondisi saat ini, pasti ada penyebab di balik banyaknya pungli yang terjadi. Di antaranya yaitu: Pertama, lemahnya ketakwaan individu, masyarakat dan ketakwaan negara menyebabkan praktik pungli dan hal lainnya yang merugikan orang lain terus terjadi. Ketakutan pada dosa seolah sirna karena dorongan materi lebih menggiurkan ketimbang dampak yang ditimbulkannya. Kedua, wewenang. Amanah jabatan adalah yang seringkali mengantarkan individu merampas hak orang lain, ini disebabkan pelaku mempunyai kesempatan sebagai pejabat negara.
Ketiga, budaya. Kebiasaan pungli yang berjalan terus-menerus di suatu lembaga atau lingkungan menjadikan pelaku terbiasa dan nyaman.
Keempat, Ekonomi. Kesulitan ekonomi dan sulitnya lapangan pekerjaan sering menjadi alasan pelaku melakukan pungli.
Kelima, tidak ada sanksi tegas. Negara yang seharusnya melindungi masyarakat dari tindak kecurangan dan kejahatan, justru abai bahkan tebang pilih pada pelaku. Jika pelaku masyarakat kecil, mudah ditindak berat. Namun jika pelaku adalah pejabat yang terjerat kasus korupsi misalnya, mereka tidak diberi sanksi berat, bahkan bisa kembali berkuasa.
Keenam, kurang memahami ajaran agama. Agama yang mestinya menjadi pengendali dan alat kontrol perbuatan, dalam sistem sekuler saat ini justru dijauhkan. Hasilnya, halal-haram tak lagi jadi ukuran yang penting kaya.
Inilah yang menyebabkan pungli tak cepat tersolusikan. Karena letak persoalannya ada pada sistem yang menaunginya, yakni kapitalisme sekuler. Maka pantas jika faktor-faktor penyebab di atas muncul hingga berdampak pada masalah sosial.
Seorang pemimpin dalam lingkup pemerintahan (negara) memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan publik, termasuk keamanan. Praktik pungli adalah buah dari lepasnya tanggung jawab negara. Kebutuhan pokok tak dipenuhi, kebutuhan komunal semisal kesehatan dan pendidikan kian terabaikan. Berapa kali pun rakyat meminta dan mengkritisi, negara diam. Tapi jika para kapital meminta untuk ‘merampas’ hak umum seperti lahan misalnya, negara cepat tanggap.
Satu-satunya solusi mengatasi pungli atau praktik yang merugikan masyarakat adalah dengan penerapan sistem yang sahih yakni melalui sistem Islam. Karena Islam sebagai ideologi sempurna memiliki aturan yang jelas dan tugas bagaimana mengatasi tindakan kriminal. Dari mulai nasehat, pembinaan, hingga sanksi tugas akan dilakukan negara dalam sistem islam. Di antara sanksinya adalah hudud, qisas atau ta’zir. Sanksi ini akan diberlakukan bergantung pada jenis pidananya, berat atau ringan yang jelas ketika diterapkan akan berefek jawazir dan jawabir.
Adalah suatu keniscayaan bagi kehidupan kaum muslim yang terikat pada Al-Qur’an dan Sunnah akan menjadikan masing-masing individu memiliki rasa keimanan kuat kepada Allah Swt. Sehingga, seorang pemimpin pun akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk umatnya, baik keamanan atau pun sanksi.
Sistem Islam memandang kehidupan hanya semata-mata untuk mencari rida Allah Swt. Jika dalam aturan sekuler masyarakat mampu melanggar hukum Allah dengan berani mengambil harta yang bukan haknya, namun sistem Islam ini sebaliknya.
Dalam menjalankan amanah, seorang pejabat/pegawai pemerintah menyertakan pemahaman mengenai adanya hubungan aktivitas manusia dan pengawasan Allah. Sebagaimana kaidah syarak berikut:
الاصل فی الافعال تقید باحکام الشرعی
“Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syarak”.
Di sisi lain, masyarakatnya pun memiliki kesadaran akan pentingnya saling mengingatkan dalam perkara takwa dan gemar beramar makruf nahi mungkar. Masyarakatnya pun ikut mengawasi kinerja para pejabat atas dasar keimanan.
Tak kalah penting, penerapan sanksi tegas yang harus diberikan negara kepada para pelaku. Sikap ini akan membuat masyarakat lainnya merasakan efek jera dan takut untuk melakukannya. Pungutan liar dan praktik sejenisnya adalah tindakan memperoleh harta yang tidak dibenarkan syariat. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar rida di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 29).
Syariat tidak cukup hanya dikhotbahkan saja di atas mimbar. Namun, ia sebagai pesan moral untuk membentuk pejabat dan masyarakat berintegritas dengan melakukan perombakan sistem. Sebab, pejabat negara yang bertakwa hanya lahir dari sistem yang menyandarkan seluruh aktivitas di bawah pengawasan Sang Khalik (taqarrub ilallah) bukan yang lain.
Wallahu’alam bisshawwab