JAKARTA (Arrahmah.id) – Puluhan tokoh nasional yang terdiri dari berbagai kalangan mengajukan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan ini disampaikan menjelang putusan mengenai sistem pemilu proporsional terbuka dibacakan.
Amicus curiae atau yang dikenal dengan sahabat pengadilan merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga di luar perkara dan merasa berkepentingan untuk berpartisipasi tanpa menjadi pihak berperkara. Amicus curiae ini berisi opini dan pandangan atas suatu kasus yang sedang berlangsung.
Dalam amicus curiae yang diajukan oleh para tokoh nasional ini menyatakan bahwa lebih dari 80 persen masyarakat Indonesia setuju dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia dan Saiful Mujani Research & Consulting yang dilakukan pada bulan Mei 2023, menunjukkan mayoritas massa pemilih dari PDIP juga mendukung sistem pemilu proporsional terbuka dengan tingkat dukungan hingga 73 persen.
Sebagaimana diketahui, PDIP merupakan partai yang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup,
“Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menyatakan sistem proporsional terbuka sesuai dengan UUD 1945. Bahkan dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai dengan ditentukannya calon yang didaftarkan. MK menilai keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan partai politik,” ungkap Feri Amsari, salah satu sahabat pengadilan yang merupakan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas dalam keterangan resmi, pada Jumat (9/6/2023).
Para tokoh nasional yang mengajukan amicus curiae meminta agar Majelis Hakim Konstitusi mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan menolak permohonan para pemohon Perkara 114/PUU-XX/2022.
Adapun sejumlah nama yang turut mengajukan amicus curiae di antaranya:
- Adnan Topan Husodo (Koordinator Indonesia Corruption Watch)
- Amir Syamsuddin (Menteri Hukum dan HAM tahun 2011-2014)
- Bambang Soetono (Dewan Yayasan Shalahuddin Budi Mulia Yogyakarta)
- Bambang Widjojanto (Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi)
- Bivitri Susanti (Pengajar STHI Jentera)
- Busyro Muqoddas (Advokat)
- Dadang Tri Sasongko (Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia 2013-2020)
- Denny Indrayana (Wakil Menteri Hukum dan HAM tahun 2011-2014)
- Din Syamsuddin (Chairman of Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilization)
- Emerson Yuntho (Advokat)
- Faisal Basri (Ekonom Senior)
- Feri Amsari (Dosen Fakultas Hukum Univ. Andalas)
- Haris Azhar (Dosen HAM STHI Jentera)
- Iwan Satriawan (Advokat dan Dosen FH Univ. Muhammadiyah Yogyakarta)
- M. Iriana Yudiardika (Advokat)
- Moh. Jumhur Hidayat (Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)
- Refly Harun (Ahli Hukum Tata Negara)
- Rocky Gerung (Akademisi)
- Saut Situmorang (Penulis)
- Sigit Riyanto (Dosen FH Univ. Gadjah Mada)
- Totok Dwi Diantoro (Dosen FH Univ. Gadjah Mada)
- Trisno Raharjo (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah)
- Usman Hamid (Dosen STHI Jentera dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia)
- Yunus Husein (Ketua STHI Jentera 2015-2020 & Kepala PPATK 2002-2011)
Sebelumnya, Demas Brian Wicaksono Yuwono Pintadi, Fahrurozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, yang semuanya merupakan kader PDIP, mengajukan gugatan terkait pemilu sistem proporsional terbuka yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam gugatan tersebut para pemohon meminta agar MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Jika MK mengabulkan permohonan ini, maka masyarakat Indonesia hanya akan mencoblos partai politik, karena tidak ada lagi nama-nama calon anggota legislatif di surat suara pada Pemilu 2024.
Kini masyarakat Indonesia menantikan keputusan MK terkait gugatan tersebut. (rafa/arrahmah.id)