TEL AVIV (Arrahmah.id) — Kerusuhan menjelang pemungutan suara mengenai reformasi peradilan di Israel semakin menjadi-jadi. Terbaru, puluhan ribu demonstran berbaris dan bentrok di luar gedung parlemen Knesset untuk menentang kebijakan kontroversial tersebut.
Reformasi peradilan ini telah menggiring Israel ke perpecahan di kalangan masyarakat dan diyakini menjadi demonstrasi terbesar di sepanjang sejarah Israel.
Dikutip dari BBC (24/7/2023), sekitar 150 perusahaan besar — termasuk berbagai bank, mogok kerja pada Senin (24/7) sebagai bentuk protes.
Puluhan ribu pengunjuk rasa sebelumnya telah berbaris sejauh 70 km dari Tel Aviv menuju Yerusalem demi berusaha menggagalkan RUU reformasi peradilan itu dan membuat perekonomian lumpuh sementara.
Massa berasal dari berbagai kalangan — mulai dari warga sipil, mantan kepala dinas keamanan Israel, hakim agung, hingga tokoh-tokoh hukum dan bisnis terkemuka juga bersuara lantang menentang reformasi peradilan ini.
Tak hanya itu, ribuan prajurit cadangan termasuk pilot di Angkatan Udara yang sangat penting bagi kemampuan ofensif dan defensif Israel juga menentangnya dan bersumpah tidak akan ikut bertugas.
Di tengah pertentangan masyarakat ini, demonstrasi kemudian berubah menjadi kericuhan.
Aparat keamanan mulai menyemprotkan meriam air ke arah para demonstran di luar parlemen. Polisi juga menarik massa mundur dari jalanan dan menangkap mereka di tengah hiruk-pikuk suara drum, peluit, dan klakson.
“Enam orang telah ditangkap,” kata polisi singkat, tanpa menyebutkan apakah ada korban luka.
Adapun sumber kerusuhan berakar pada rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sejak awal tahun untuk mengesahkan RUU mengenai reformasi peradilan.
Kebijakan itu dijadwalkan akan dibahas dalam pemungutan suara pada hari ini — yang sekaligus akan menentukan arah politik Israel di masa mendatang.
RUU itu akan menghapus kekuasaan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan-keputusan pemerintah yang dianggap telah melampaui batas.
Dengan kata lain, bila RUU itu disahkan maka kekuasaan Netanyahu sebagai orang nomor satu di pemerintahan Israel bakal meluas ke ranah peradilan yang seharusnya independen dari pemerintah.
Para penentang berpendapat, reformasi tersebut membahayakan Israel sebagai negara demokratis. Namun, di sisi lain pemerintah berkuasa menegaskan tujuan kebijakan itu ialah untuk memperkuat demokrasi, dengan dalih bahwa Mahkamah Agung telah memperoleh kekuasaan yang terlalu luas di politik Israel dalam beberapa dekade terakhir.
Selain memicu pertentangan di dalam negeri, RUU reformasi peradilan itu juga dikecam oleh sekutu dekat Israel, Amerika Serikat.
Belakangan ini, Presiden Joe Biden menyerukan agar pengesahan RUU yang memecah belah tersebut ditunda lantaran dianggap tidak masuk akal.
“Dari sudut pandang teman-teman Israel di Amerika Serikat, sepertinya proposal reformasi peradilan saat ini menjadi lebih memecah belah, bukannya berkurang,” kata Biden, seperti dikutip dari The Times of Israel.
Sebaliknya, menurut Biden penting untuk menggelar musyawarah dengan masyarakat sebelum mengambil suatu keputusan penting seperti reformasi peradilan.
“Mengingat berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi Israel saat ini, tidak masuk akal bagi para pemimpin Israel untuk terburu-buru melakukan hal ini — fokusnya adalah menyatukan masyarakat dan menemukan konsensus,” jelasnya. (hanoum/arrahmah.id)
Polisi Israel menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran yang memblokir jalan selama protes terhadap rencana pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk merombak sistem peradilan, di Yerusalem, pada 24 Juli 2023. [Foto: Ariel Schalit / AP]