WASHINGTON (Arrahmah.com) – Lebih dari 16 ribu orang di daftar teroris Amerika Serikat ternyata telah tewas, baik yang sudah dikonfirmasi atau dilaporkan meninggal dunia.
Disebutkan juga bahwa dengan masih adanya nama-nama itu di daftar teroris AS akan menimbulkan banyak masalah.
Sebagaimana dilansir oleh CNN, (Kamis (29/10/2015), hal ini terungkap dalam bocoran dokumen penilaian oleh Kantor Intelijen dan Analisis di Departemen Keamanan Dalam Negeri AS atau DHS yang diterima oleh situs The Intercept. DHS menyebutnya sebagai kerusakan sistem “pengawasan”.
Direktur lembaga American Civil Liberty Union’s National Security Project, Hina Shamsi, mengungkapkan bahwa tidak hanya orang yang sudah meninggal, tapi juga banyak nama orang-orang yang masih hidup dan tidak bersalah yang masuk dalam daftar AS. Hal ini akan berujung pada penangkapan dan pengadilan terhadap orang yang tidak bersalah.
Selain itu, masalah lainnya yang terjadi adalah banyaknya lembaga keamanan di AS yang membuat daftar nama sendiri, yang menyebabkan daftar tersebut tumpang tindih. Contohnya, Pusat Pemberantasan Terorisme Nasional, NCTC, Kementerian Keuangan dan FBI semuanya memiliki daftar buronan teroris yang berbeda.
Ada 1,8 juta nama orang yang masuk dalam daftar terorisme AS. Menurut beberapa pejabat badan keamanan AS dalam emailnya yang diretas dan dirilis WikiLeaks, jumlah itu terlalu besar.
“Terlalu banyak, jumlahnya 7 persen dari populasi IZ (Irak),” tulis email tersebut.
Menurut Mike German, mantan agen FBI, sebagaimana dikutip oleh The Intercept mengatakan bahwa banyaknya nama orang yang telah meninggal di daftar buronan teroris itu merupakan suatu kesalahan sistem.
“Ketika nama-nama dalam daftar teroris ituu mencapai lebih dari sejuta nama, atau mendekati sejuta nama, maka dokumen itu menjadi tidak berguna,” ujar German.
Sekitar 30 persen nama-nama di dalam daftar teroris tersebut dimasukkan atas dasar informasi yang kedaluwarsa. Bahkan, 50 persen dari nama-nama itu di daftar teroris FBI sama sekali tidak tergabung dalam kelompok teror manapun, The Intercept melaporkan.
Namun pejabat AS berdalih bahwa adanya nama-ama orang yang sudah meninggal dalam daftar tersebut diperlukan untuk keperluan pemeriksaan, dikhawatirka identitas orangn tersebut digunakan oleh teroris yang lainnya.
(ameera/arrahmah.com)