BANDARBAN, BANGLADESH (Arrahmah.com) – Di depan mereka, penjaga perbatasan memblokir jalan masuk ke Bangladesh. Di belakang mereka, Angkatan Darat Myanmar menanam ranjau darat yang mematikan untuk mencegah mereka kembali.
Bandarban adalah permata eksotis di mahkota wisata Bangladesh. Hari ini, tempat ini merupakan wilayah mimpi buruk bagi 20.000 orang Rohingya yang sangat membutuhkan makanan, air dan bantuan medis.
Shab-e-Meraj, (26), menyeberangi sungai Tombru yang dangkal sambil menggendong anak perempuannya yang berusia dua bulan yang bernama Noor Kaida, yang saat ini menderita demam. Dia berupaya untuk mencari bantuan dari agen bantuan medis Medecins Sans Frontieres.
Sekitar 300 pria dan wanita, semuanya kurus dan kelaparan, menunggu antrian untuk menemui dokter MSF.
Meraj dulu tinggal di desa Raimmyakhali di negara bagian Rakhine di Myanmar. Dia mengungkapkan bahwa tentara membakar rumah mereka dengan bantuan penduduk desa Buddha. Butuh waktu tiga jam untuk berjalan ke perbatasan.
Suaminya, Muhammud Noor, seorang buruh harian, menyelamatkan diri ke sini bersama sembilan anggota keluarganya saat pertumpahan darah di Rakhine dimulai. Sekarang mereka bertahan hidup dengan mengandalkan makanan kering yang dibagikan oleh penduduk desa dan sukarelawan setempat.
“Tidak mungkin saya bisa kembali ke tanah neraka itu.” ujar Meraj.
Beberapa kilometer, sejauh mata memandang, ada rumah darurat di puncak bukit di daerah perbatasan ini, di mana 20.000 orang Rohingya telah terjebak selama lebih dari seminggu.
“Kami mencoba yang terbaik untuk memberi mereka makanan dan air minum,” kata pejabat pemerintah setempat Jahangir Aziz. “Pagi ini saya membagikan 2kg nasi, lentil, bawang dll untuk setiap keluarga yang berlindung di kecamatan saya.”
Namun, persediaan makanan di pasar desa sudah habis karena para pengungsi, katanya. “Saya takut berakibat memburuknya situasi hukum dan ketertiban. Semua institusi pendidikan tutup saat Idul Adha namun kelas akan dilanjutkan mulai besok. Saya tidak tahu bagaimana siswa akan mengikuti kelas. Seluruh wilayahku telah berubah menjadi tong sampah.”
Pemerintah daerah telah menyiapkan empat sumur tabung untuk menyediakan air minum bersih bagi para pengungsi, dan beberapa lagi sedang direncanakan. Seorang dermawan setempat mulai bekerja menyediakan 10 WC.
Truk kecil yang membawa barang bantuan bergerak melalui jalan yang sempit. Relawan dari badan bantuan berusaha memberikan dukungan dasar, dan para pekerja Palang Merah mendistribusikan air minum ke kantong plastik, namun hal itu masih mengalami kekurangan.
Rohingya yang terjebak tersebut banyak yang terpaksa tidur di udara terbuka dan sangat membutuhkan makanan serta air setelah berjalan berhari-hari untuk menyelamatkan diri.
“Orang-orang ini telah berjalan berhari-hari. Beberapa dari mereka belum makan berhari-hari sejak mereka pergi meninggalkan rumah mereka. Mereka bertahan dengan mengandalkan air hujan dan air tanah,” kata aid Vivian Tan, juru bicara untuk badan pengungsi PBB.
Juru kampanye hak asasi Bangladesh Nur Khan Liton mengatakan bahwa sebuah krisis kemanusiaan besar-besaran sedang berlangsung. “Orang-orang tinggal di kamp pengungsian, di jalan, halaman sekolah dan di bawah langit terbuka. Mereka membersihkan hutan untuk membuat permukiman baru. Ada krisis air dan makanan yang akut,” tuturnya.
(ameera/arrahmah.com)