ALGIERS (Arrahmah.com) – Puluhan migran meninggal akibat dehidrasi yang ditimbulkan oleh panas terik Gurun Sahara dan ribuan lainnya tetap terdampar menyusul gelombang deportasi oleh Aljazair, kutip MEMO pada Kamis (17/5/2018).
Tahun lalu Aljazair mengeluarkan kebijakan keras terhadap imigrasi ilegal serta kontrol perbatasan ketat di perbatasan selatan, dimana Menteri Luar Negeri Aljazair Abdelkader Messahel menyebut para migran ini sebagai “ancaman bagi keamanan nasional”.
Menanggapi krisis tersebut, lembaga migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (IOM) mengatakan bahwa pihaknya menyediakan tempat penampungan bagi 3.500 migran yang diusir di negara tetangga Niger.
Menurut Giuseppe Loprete, kepala misi IOM di Niger, 1.500 migran tiba di desa perbatasan terpencil Assamakka dalam sehari bulan lalu dan IOM memperkirakan bahwa setidaknya 7.000 orang melintas tahun ini hingga Juni.
Para migran yang dibuang di sana oleh pemerintah Aljazair terpaksa menempuh perjalanan sejauh 250 mil ke kota terdekat. Banyak yang menyerah dan mencari transportasi serta terpaksa berjalan dalam suhu ekstrim hingga 48 derajat Celcius.
“Sebagian besar dari mereka tidak punya uang atau dokumen identitas, makanan atau air,” kata Loprete.
“Baru-baru ini kami menemukan kelompok migran yang bermula dengan 50 orang tetapi hanya enam yang berhasil bertahan hingga tujuan. Jumlah total yang tewas mencapai puluhan dalam krisis saat ini dan pasti ribuan sejak 2015,” lanjut Loprete.
Daerah itu telah menjadi saksi bagi arus migrasi besar ketika perbatasan Niger dengan Libya yang dilanda perang secara resmi ditutup, sehingga mengalihkan aliran migran ke perbatasan Aljazair. Perkiraan tidak resmi menyebutkan jumlah total migran tidak berdokumen di Aljazair mencapai jumlah 100.000 orang. (Althaf/arrahmah.com)