TEL AVIV (Arrahmah.id) — Puluhan jenderal senior Israel menginginkan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu membuat kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok perlawanan Palestina Hamas sehingga mereka dapat mempersiapkan diri untuk kemungkinan perang dengan kelompok Syiah Hizbullah di Lebanon, lapor New York Times (2/7/2024).
Dengan perang Israel terhadap Hamas yang akan memasuki bulan kesembilan, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah kehilangan sedikitnya 674 tentara, persediaan peluru artileri menipis, dan sekitar 120 warga Israel, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, masih disandera di Gaza.
Para pejuang Hamas telah bermunculan di wilayah-wilayah kantong yang sebelumnya telah dibersihkan IDF, dan Netanyahu masih menolak secara terbuka menyatakan apakah Israel bermaksud menduduki Gaza pascaperang atau menyerahkan wilayah itu kepada pemerintah Palestina.
“Dengan latar belakang ini, 30 jenderal senior yang tergabung dalam Forum Staf Umum Israel menginginkan Netanyahu mencapai gencatan senjata dengan Hamas, bahkan jika ini berarti membiarkan pejuang tersebut berkuasa di Gaza,” ungkap laporan New York Times.
Menurut enam pejabat keamanan saat ini dan mantan pejabat keamanan, lima di antaranya meminta untuk tidak disebutkan namanya, para jenderal ingin waktu untuk mengistirahatkan pasukan mereka dan menimbun amunisi jika perang darat dengan Hizbullah pecah.
Selain itu, para jenderal juga memandang gencatan senjata sebagai cara terbaik membebaskan para sandera yang tersisa, yang bertentangan dengan desakan Netanyahu bahwa hanya “kemenangan total” atas Hamas yang akan membawa para tawanan pulang.
“Militer mendukung penuh kesepakatan penyanderaan dan gencatan senjata,” ujar mantan Penasihat Keamanan Nasional Israel Eyal Hulata mengatakan kepada surat kabar tersebut.
“Mereka yakin bahwa mereka selalu dapat kembali dan melawan Hamas secara militer di masa mendatang,” ujar dia.
Dia menjelaskan, “Mereka memahami bahwa jeda di Gaza membuat de-eskalasi lebih mungkin terjadi di Lebanon. Dan mereka memiliki lebih sedikit amunisi, lebih sedikit suku cadang, lebih sedikit energi daripada sebelumnya, jadi mereka juga berpikir jeda di Gaza memberi kita lebih banyak waktu untuk bersiap jika perang yang lebih besar benar-benar pecah dengan Hizbullah.”
Hizbullah, gerakan politik dan pasukan paramiliter yang didukung Iran, memasuki konflik Israel-Hamas Oktober lalu. Namun, kelompok itu melancarkan kampanye terbatas serangan pesawat nirawak dan rudal di Israel utara, yang menurut pemimpinnya Hassan Nasrallah pada November ditujukan untuk mengikat pasukan Israel di dekat perbatasan guna mencegah pengerahan mereka ke Gaza.
Netanyahu mengumumkan bulan lalu bahwa dia akan menarik beberapa unit IDF keluar dari Gaza dan memindahkan mereka ke perbatasan Lebanon, yang memicu kekhawatiran akan segera terjadinya invasi ke Lebanon.
Ketegangan semakin meningkat pekan lalu ketika Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant memperingatkan bahwa IDF “bersiap untuk setiap skenario” dan dapat membawa “Lebanon kembali ke Zaman Batu.”
AS dilaporkan telah memperingatkan agar tidak memulai bahkan “perang terbatas” di Lebanon.
Adapun Iran telah menyatakan mereka akan “mendukung Hizbullah dengan segala cara” dalam konflik semacam itu.
Militer Israel belum secara terbuka mendukung gencatan senjata di Gaza.
Dalam pernyataan kepada New York Times, IDF mengatakan mereka masih berupaya menghancurkan “kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, memulangkan para sandera, dan memulangkan warga sipil Israel dari selatan dan utara dengan selamat ke rumah mereka.”
Kantor Netanyahu menolak mengomentari laporan tersebut. (hanoum/arrahmah.id)