(Arrahmah.com) – “Sekarang kita jangan ribut-ribut, karena menciptakan lapangan pekerjaan paling cepat itu, ya, turis. Nah, sekarang kami lagi bikin sebaik mungkin,” ujar Luhut saat menggelar konferensi pers di Kementerian Koordinator Kemaritiman, Senin, 9 Januari 2017. (tempo.co, 10/1/2016)
“Dimana logika berpikir para pengambil kebijakan dinilai amatlah tidak masuk akal. Menyandingkan penanaman modal asing dengan kepentingan nasional adalah suatu bentuk kesesatan dalam berpikir,” ujar Sudarsono kepada Harian Terbit di Jakarta, Minggu (15/1/2017). “Sudah saatnya peninjauan kembali kepemilikan dan penguasaan tanah yang ada di beberapa pulau-pulau tersebut. Penataan kembali izin-izin yang telah dikeluarkan, kalau perlu dibatalkan izin-izin penguasaan yang dapat menimbulkan penguasaan pulau secara mutlak,” paparnya (harianterbit.com 16/1/2017).
Tak bisa dielak, saat ini peran asing makin menguat di negeri ini. Asing makin leluasa menguasai dan memiliki aset-aset di negeri ini di bidang properti, perbankan, perkebunan, pertambangan dan sektor strategis; termasuk sektor pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan. Utang luar negeri juga makin besar. Padahal utang merupakan sarana efektif penjajahan asing. Dan sekarang giliran pulau-pulau Indonesia diliberalisasi!
Asing telah menguasai pengelolaan sumberdaya alam negeri ini. Liberalisasi finansial dan investasi akan membuat asing makin leluasa menguasai semua sektor kehidupan negeri ini. Penguasaan asing yang besar di sektor SDA, perdagangan, industri, kehutanan, perkebunan, perbankan, telekomunikasi, dan sektor lainnya akan makin dalam. Pembukaan ruang yang lebar bagi investor asing untuk turut membangun infrastruktur baik jaringan kereta api, jalan, pelabuhan, transportasi dan sebagainya akan memperdalam penguasaan asing di negeri ini. Dengan itu, berbagai pelayanan publik akan berada di bawah penguasaan swasta (asing).
Sistem Demokrasi dan Ekonomi Liberal, menurutnya menjadi penyebab terperangkapnya Indonesia dalam jerat Korporasi. Demokrasi telah memberikan celah bagi para korporasi atau pengusaha Kapitalis besar untuk menjadi pihak yang mengendalikan Negara. Pada akhirnya, Indonesia menjadi Negara yang dipimpin oleh kekuasaan ‘Penguasa-ha’, yang tak lain gabungan dari penguasa dan pengusaha kapitalis besar. Kedua pihak tersebut berkongsi untuk menindas dan mengelabui rakyat. Berbagai sumber daya alam akhirnya mulus dikeruk berbagai perusahaan asing dibawah payung Undang-Undang.
Sistem demokrasi membohongi rakyat dengan janji kesejahteraan. Semua partai dan calon presiden dalam kampanye mereka selalu menjanjikan kesejahteraan jika mereka terpilih. Begitu mereka duduk di Parlemen atau menjadi penguasa, kesejahteraan tinggal janji. Bahkan kebijakan mereka justru menyebabkan rakyat semakin menderita seperti: Kenaikan harga BBM; Liberalisasi Hulu dan Hilir Migas, UU ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Sumber Daya Air; Liberalisasi Kesehatan dengan JKN-nya; UU Bank Indonesia, UU perbankan, UU Kehutanan. Keseluruhan UU tersebut ditujukan dalam rangka memfasilitasi investasi asing seluruh sektor strategis di Indonesia dan lain-lain.
Demokrasi yang hakiki yang mengorbankan masyarakat umum demi sekelompok kecil orang berpengaruh. Hal itu seperti kondisi di Barat yang tidaklah lebih baik dari kondisi yang ada di negeri ini. Jika tidak, lalu kenapa pemerintah konsern untuk memuluskan liberalisasi di segala lini sembari mewajibkan pajak-pajak itu kepada masyarkat miskin secara umum? Kenapa tambang emas, tembaga, batubara, minyak dan gas diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing dengan harga murah? Kenapa hasil dari tambang-tambang itu tidak dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat?
Di dalam sistem islam, terdapat pemasukan besar dari zakat yang masuk ke kas pendapatan baitul mal kaum muslim yang akan dibelanjakan untuk delapan golongan yang berhak menerima zakat. Juga terdapat pendapatan dalam jumlah besar dari kepemilikan umum seperti minyak, gas, batubara, barang tambang, yang sebagiannya akan dibelanjakan untuk memenuhi belanja negara. Sedangkan di bawah sistem kapitalis saat ini, seluruh potensi lari ke kantong perusahaan-perusahaan asing melalui penyerahan kepemilikan atas berbagai potensi itu kepada mereka padahal potensi-potensi itu merupakan kepemilikan umum. Mestinya, dengan adanya potensi berlimpah itu, negara tidak boleh mewajibkan berbagai macam pajak kepada masyarakat umum. Rasulullah saw telah memperingatkan siapa saja yang memungut pajak itu dan mengancamnya dengan neraka. Rasul saw bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Orang yang memungut cukai/pajak tidak akan masuk surga
Indonesia kaya akan berbagai sumber kekayaan alam, baik emas, gas, batubara, kekayaan hewani, dan beras, namun pnguasa negeri ini mengurangi hak masyarakat dengan menerapkan sistem kapitalisme yang memusatkan kepemilikan atas kekayaan kepada segelintir orang. Hal ini menyebabkan masyarakat didera kesempitan ekonomi yang mencekik dan melambungkan harga-harga kebutuhan pokok baik barang maupun jasa.
Padahal Islam telah menetapkan sumber energi sebagai milik umum sehingga memungkinkan semua orang memafaatkannya dengan biaya serendah mungkin. Begitu juga masyarakat didera melambungnya harga-harga yang disebabkan inflasi akibat menurunnya nilai rupiah. Karena rupiah tersebut tidak dibackup sebagaimana yang diwajibkan oleh Islam yaitu dengan kekayaan umat Islam yang hakiki. Sebaliknya penguasa negeri ini justru mengikatkan mata uang rupiah dengan dolar. Karena penguasa menolak penerapan sistem ekonomi Islam yang mengatur distribusi kekayaan atas masyarakat secara adil dan lurus.
Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim)
(*/arrahmah.com)