YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Tuntutan 1 tahun penjara yang dilontarkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan menuai respons yang luas dari masyarakat, tidak terkecuali oleh Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM.
Dilansir detik.com Pukat UGM menilai ada 5 kejanggalan dalam tuntutan 1 tahun penjara bagi para terdakwa kasus tersebut.
“Ada lima kejanggalan pada tuntutan ringan yang dijatuhkan kepada para terdakwa penganiayaan kasus Novel Baswedan. Kejanggalan tersebut sangat berdampak buruk kepada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujar Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman pada Senin (15/6/2020).
Kejanggalan pertama adalah pernyataan JPU bahwa tidak ada niat dari para terdakwa dalam melakukan aksinya.
“Di dalam hukum pidana itu dikenal rencana itu memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak dan juga pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang,” kata Zaenal.
“Nah, menurut saya ketiga unsur tersebut telah terbukti dengan adanya pengintaian dan penyiapan air keras oleh terdakwa. Menurut saya perbuatan para terdakwa itu adalah suatu kesengajaan,” imbuhnya.
Kejanggalan kedua adalah ketika JPU menyebut kasus ini sebagai penganiayaan biasa dan menggunakan pasal 353 ayat 2 sebagai dasar dakwaan.
“Menurut saya itu keliru, seharusnya JPU itu mengarahkan kepada pasal penganiayaan berat sesuai dengan pasal 355 ayat 1 KUHP. Kenapa? Karena sudah direncanakan adanya kesengajaan dan di situ mengakibat luka berat, luka permanen,” ujarnya.
Adapun kejanggalan ketiga adalah selama persidangan JPU lebih banyak mempertimbangkan keterangan para terdakwa daripada alat bukti yang lain.
“Saya kira ini kejanggalan yang sangat serius, JPU mengabaikan alat bukti dalam bentuk barang bukti air keras, rekaman CCTV dan saksi-saksi yang sebelumnya sudah diperiksa tim pencari fakta maupun Komnas HAM,” ungkap Zaenal.
Sedangkan kejanggalan keempat adalah dalam tuntutan tersebut terdapat disparitas dengan tuntutan-tuntutan perkara-perkara penganiayaan berat lain. Mengingat tuntutan untuk perkara ini adalah salah satu tuntutan yang paling ringan diantara kasus penganiayaan berat yang lain.
“Bahkan (tuntutan) satu tahun ini bisa dikatakan akan menimbulkan disparitas dan pada akhirnya bisa mencederai keadilan,” ujarnya.
Kejanggalan kelima adalah JPU tidak mengungkap aktor intelektual maupun motif dari penyerangan tersebut.
Menurut Zaenur, hal tersebut di atas perlu diungkap karena antara para terdakwa dan Novel Baswedan tidak memiliki hubungan apapun.
“Apakah logis motif para terdakwa menyiram karena merasa marah dan menganggap Novel pengkhianat. Padahal antara Novel dan para terdakwa tidak ada hubungan sama sekali,” katanya.
“Nah di dalam persidangan tidak diungkap kemungkinan adanya motif yang sebenarnya dan juga aktor intelektual di balik penyerangan tersebut. Menurut saya di sini kebenaran materiil sejauh ini tidak diungkap oleh JPU,” imbuh Zaenur.
Atas kelima kejanggalan tersebut, Zaenur berpendapat bahwa tuntutan JPU sangat ringan dan mencederai rasa keadilan di masyarakat.
Zaenur berharap agar hakim dapat bersikap adil dalam memberikan putusan atas kasus ini dan tidak terikat kepada tuntutan JPU.
“Hakim nanti tidak harus terikat kepada tuntutan JPU kemudian hakim dapat memutus sendiri dan hakim itu dimungkinkan menjatuhkan putusan itu ultra petita, melebihi apa yang dituntut oleh JPU dan itu dimungkinkan dalam hukum pidana. Jadi kita sekarang berharap kepada hakim jangan sampai hanya menuruti JPU,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)