Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
(Arrahmah.id) – Sudah menjadi kebiasaan sebahagian umat Islam ketika nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban yaitu hari ke 15) tiba, maka mereka berkumpul pada malamnya dan menghidupkannya dengan ibadah tertentu seperti shalat Raghaib, Alfiyyah, Tasbih, atau shalat lainnya, membaca doa dan zikir khusus malam nishfu Sya’ban, dan membaca Al-Qur’an khusus malam nishfu Sya’ban, dan sebagainya, baik secara berjama’ah maupun pribadi. Begitu pula pada siangnya berpuasa nishfu Sya’ban.
Yang menjadi pertanyaan kita, apakah ada dalil yang shahih yang menjelaskan tentang keutamaan nishfu Sya’ban dan amalan tertentu padanya? Apa hukum mengerjakan amalan tertentu seperti tersebut di atas pada malam dan siang nishfu Sya’ban?.
Untuk menjawab persoalan tersebut, maka kita wajib merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan penjelasan para ulama. Kita perlu merujuk kepada kitab-kitab para ulama yang menjelaskan persoalan ini. Maka tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menjelaskan persoalan tersebut di atas dengan merujuk kepada referensi kitab-kitab para ulama yang mu’tamad dan mu’tabar, baik kitab-kitab turats (klasik) maupun kitab-kitab mu’ashirah (kontemporer).
Menurut para ulama, tidak ada satupun dalil shahih yang mensyariatkannya ibadah tertentu pada nishfu Sya’ban seperti shalat malam dan puasa nishfu Sya’ban dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan. Shalat khusus malam nishfu Sya’ban dan puasa khusus nishfu Sya’ban tidak dilakukan dan tidak pula diperintahkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu pula tidak dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu anhum. Maka tidak boleh diamalkan. Karena, ibadah itu sifatnya tauqifiyyah. Maknanya, wajib berdasarkan dalil (petunjuk) yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Bila tidak, maka ibadah tersebut tidak akan diterima Allah ta’ala, bahkan menuai murka dan kecaman Allah ta’ala, karena itu perbuatan bid’ah.
Menurut para ulama, hadits-hadits mengenai keutamaan nishfu sya’ban adalah dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan kebanyakannya maudhu’ (palsu). Dalam kajian ilmu Mushthalah Hadits atau ilmu Hafits, hadits dhaif tidak boleh diamalkan dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam persoalan aqidah dan ibadah berdasarkan ijma’ para ulama. Terlebih lagi hadits maudhu’. Oleh karena itu, para ulama Fiqh tidak mengatakan dalam kitab-kitab Fiqh mereka bahwa shalat malam nishfu Sya’ban itu sunnat dan puasa nishfu Sya’ban itu sunnat. Bahkan para ulama hadits menjelaskan kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits tersebut.
Imam Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) telah mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam persoalan ibadah, termasuk mengenai keutamaan nishfu Sya’ban di dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu). Beliau memasukkan hadits-hadits palsu mengenai keutamaan nishfu Sya’ban dan keutamaan shalat malam dan puasa nishfu Sya’ban dalam kitab tersebut. (Al-Maudhu’at, Abdurrahman bin Ali yang dikenal dengan Ibnu Al-Jauzi, jilid 2, hal. 438-443)
Begitu pula Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H) mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu yang berkaitan dengan ibadah dalam kitabnya Al-Manar Al-Muniif fii ash-shahih wa adh-dhaif. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits mengenai keutamaan nishfu Sya’ban dan amalannya itu palsu. (Al-Manar Al-Muniif fii ash-shahih wa adh-dhaif, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 78)
Dalam kitabnya Fihi ma Ja’a fi al-Bida’, Imam Muhammad bin Wadhdhah Al-Qurthubi (wafat 287 H) meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Zaid biN Aslam, bahwasanya beliau berkata, ”Kami belum pernah mendapatkan seorangpun dari Syaikh kami atau ahli Fiqh di kalangan kami yang melirik kepada kebiasaan perayaan nishfu Sya’ban. Kami juga tidak mendapatkan seorang pun di antara mereka yang menyebutkan hadits Makhul, dan berpandangan malam itu memiliki kelebihan dibandingkan malam-malam lain. (Fihi ma Ja’a fi al-Bida’, Muhammad bin Wadhdhah Al-Qurthubi, hal. 100, no. 119)
Imam Abu Bakar At-Thurthusyi (wafat 474 H) berkata, ”Abu Muhammad Al-Maqdisi telah memberi kabar kepadaku, ia berkata, ”Di daerah kami, di Baitul Maqdis tidak pernah diadakan shalat ar-Raghaib, yakni shalat yang biasa dilakukan dibulan Rajab dan Sya’ban. Perbuatan itu terjadi pertama kali di daerah kamu pada tahun 448 H. Datanglah seorang laki-laki dari Napolis yang dikenal bernama Ibnul Hamra. Ia adalah seorang yang bagus bacaan Al-Qur’annya. Suatu saat ia shalat di masjidil Aqsha pada malam nishfu Sya’ban, tiba-tiba ada orang lain yang ikut shalat bersama beliau, lalu datang lagi orang ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tidaklah ia menutup shalatnya, melainkan ia telah dimakmumi oleh orang yang berjumlah banyak sekali. Kemudian ia datang pada tahun berikutnya lagi, dan banyak sekali orang-orang yang ikut bersamanya. Shalat itupun menjadi amat dikenal di masjid-masjid, tersebar luas di Masjidil Aqsha, di rumah orang-orang, dan tempat tinggal mereka, dan kemudian menjadi kebiasaan seolah-olah shalat ini adalah sunnah hingga masa kita sekarang ini.” (Al-Hawadits Wa Al-Bida’, Abu Bakar At-Thurthusyi, hal. 266, no. 238).
Imam Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dengan sanadnya bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ziyad An-Numairi menyatakan bahawa malam nishfu Sya’ban itu pahalanya seperti malam Lailatul Qadar, maka Ibnu Abi Mulaikah menanggapi, ”Kalau aku mendengarnya langsung darinya, dan aku sedang memegang tongkat, pasti kupukul dia dengan tongkat itu.” Dan Ziyad adalah seorang hakim. (Fihi Ma Ja’a fi al-Bida’, hal. 101, no. 120, dan diriwayatkan oleh Ath-Thurthusi dari Ibnu Wadhdhah dalam kitabnya al-Hawadits wa al-Bida’, hal. 263, no. 235).
Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) menyatakan, ”Adapun alfiyyah, maka ia adalah shalat nishfu Sya’ban. Dinamakan demikian karena dalam shalat tersebut dibacakan surat al-Ikhlash seribu kali. Jumlah rakaatnya adalah seratus, pada masing-masing rakaat dibaca surat Al-Fatihah sekali dan surat Al-Ikhlash sepuluh kali. Shalat ini amat panjang dan berat sekali, yang tidak ada hadits atau atsar yang menerangkannya kecuali riwayat yang lemah atau palsu. Orang-orang awam banyak yang terjebak jauh (terfitnah) karenanya. Bahkan banyak dari para pemimpin di masjid-masjid yang terdapat di berbagai negara yang bersemangat melakukannya, bahkan secara terus-menerus semalam suntuk, ditambah dengan berbagai kefasikan dan kemaksiatan, pencampurbauran kaum lelaki dan wanita, serta berbagai bencana lain yang sudah sangat dikenal untuk harus digambarkan di sini. Kalangan awam yang gemar mengamalkan ibadah ini, memiliki keyakinan yang kokoh, dan setan telah menghiasinya dalam diri mereka agar menjadikannya sebagai pondasi syiar kaum muslimin.” (Al-Ba’its ’Ala Inkar Al-Bida’, Abdurrahman bin Isma’il Asy-Syafi’i yang dikenal dengan Abu Syamah, hal. 124).
Imam An-Nawawi (wafat 676 H) berkata, “Shalat yang dikenal dengan sebutan shalat ar-Raghaib yaitu dua belas raka’at yang dilakukan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat pada malam nisfhu Sya’ban seratus rakaat, kedua shalat ini adalah bid’ah munkarah (yang munkar) dan qabihah (yang buruk). Dan janganlah seseorang terpedaya dengan penyebutan keduanya di dalam kitab qutul qulub dan ihya’ ulumiddin, dan janganlah seseorang terpedaya dengan hadits yang disebut keduanya karena semua itu adalah kebatilan. Dan jangan pula seseorang terperdaya dengan sebahagian orang yang samar (tidak jelas) hukumnya atas mereka dari kalangan imam-imam, maka ditulis dalam kertas bahwa kedua shalat itu dianjurkan, karena sesungguhnya tulisan itu salah dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al-Maqdasi telah menulis sebuah kitab yang berharga dalam membatalkan keduanya (shalat ar-Raghaib dan shalat nisfu Sya’ban), maka beliau telah menjelaskannya dengan baik dan mantap.” (Al-Majmu’, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, jilid 3, hal. 476).
Imam Zainuddin Al-Maliabari (wafat 987 H) berkata, ”Adapun shalat yang populer pada malam Raghaib, nishfu Sya’ban dan pada hari ’Asyura maka itu adalah bid’ah qabihah (yang buruk), dan hadits-haditsnya madhu’ (palsu). (Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Maliabari, jilid 1, hal. 458).
Beliau juga berkata dalam kitab Irsyadul Ibad, “Di antara bid’ah mazmumah (yang tercela) yang berdosa pelakunya dan wajib atas pemimpin melarang pelakunya adalah shalat raghaib dua belas raka’at di antara dua Isya pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya’ban seratus raka’at, shalat akhir Jum’at dari bulan Ramadhan sebanyak tujuh belas raka’at dengan niat mengqadha shalat lima waktu yang belum diqadha, dan shalat hari ‘Asyura empat raka’at atau lebih serta shalat usbu’ (sepekan). Adapun hadits-haditsnya maudhu” (palsu) dan batil, tidak berubah hukumnya dengan orang yang menyebutkannya.” (Hasyiah I’anah Ath-Thalibin, Abu Bakar Ad-Dimyathi Al-Bakari, jilid 1, hal. 458).
Syaikh Al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) menukilkan perkataan Syaikh Imam Ali Al-Qari, ia berkata di kitabnya Al-Mirqat, “Ketahuilah bahwa yang disebut di kitab Al-Laa’ii bahwa seratus rakaat pada nishfu Sya’ban dengan membaca surat Al-Ikhlash dalam setiap rakaat dengan panjang keutamaannya seperti yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami dan yang lainnya adalah riwayat palsu. Dan di sebahagian ar-rasail, Ali bin Ibrahim berkata, “Dan di antara perkara baru yang diada-adakan dalam agama pada malam nishfu Sya’ban adalah shalat alfiyyah seratus rakaat dengan membaca surat Al-Ikhlash sepuluh sepuluh dengan berjama’ah, mereka lebih mementingkannya dari shalat Jum’at dan shalat hari raya, tidak ada khabar (hadits) yang menjelaskannya, dan tidak pula atsar (perkataan sahabat, melainkan lemah atau palsu. Dan janganlah kamu terpedaya dengan apa yang disampaikan oleh penulis kitab Alquutu dan Al-ihya’ (Imam Ghazali) dan selain kedua kitab tersebut. Bagi orang awam, dengan shalat ini menjadi fitnah yang besar, sehingga banyak orang yang melazimkan dengan sebabnya, dan timbul kemaksiatan dan pelanggaran hukum yang diharamkan yang tidak cukup untuk menjelaskannya, sehingga para wali khawatir azab, sehingga mereka lari dari padanya ke tempat yang aman.
Selanjutnya Syaikh Al-Mubarakfuri berkata, “Dan yang pertama diadakan shalat ini di Baitul Maqdis pada tahun 448 H.” Lalu ia menukilkan perkataan Ali Qari, ia berkata, “Para imam masjid yang bodoh telah menjadikannya bersama dengan shalat ar-Raghaib dan yang seumpama keduanya perangkap untuk mengumpulkan orang awam, untuk mencari jabatan dan mencari materi, kemudian Allah menjadikan para ulama yang diberi petunjuk untuk menghapuskannya, maka hilanglah urusan ini, dan berhasil dihapuskannya (shalat ini) di negeri Mesir dan Syam pada awal-awal abad ke abad ke delapan. Ada pendapat lain, pertama kali muncul api fitnah ini dari kelompok al-Baramikah, mereka penyembah api. Ketika masuk Islam, mereka memasukkan ke dalam Islam apa yang mereka mengira bahwa itu ajaran agama Islam, dan tujuan mereka mereka untuk menyembah api, di mana mereka ruku’ dan sujud bersama kaum muslimin kepada api itu, dan tidak datang dalam syariat anjuran tambahan waqid atas hajat dalam suatu tempat, dan apa yang dilakukan oleh orang awam yang berhaji dari waqid di jabal Arafat, Masy’aril Haram dan Mina maka itu termasuk persoalan ini. (Tuhfah Al-Ahwazi, Al-Mubarakfuri, jilid 3, hal. 505).
Syaikh Al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) berkata: “Saya tidak menemukan hadits marfu’ yang shahih dalam puasa nishfu Sya’ban. Adapun hadits Ali radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan redaksi “Jika malam nishfu Sya’ban tiba, maka lakukan shalat malam harinya dan berpuasalah pada siangnya, karena sesungguhnya Allah turun pada malam itu saat matahari tenggelam ke langit dunia, lalu Dia berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun, maka Aku pasti mengampuninya? adakah orang yang meminta rezki, maka Aku pasti memberinya? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka Aku akan menyelamatkannya? adakah ini, adakah itu… hingga fajar terbit.” saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah dhaif jiddan (sangat lemah).”
Dan Ali radhiyallahu ‘anhu memiliki hadits yang lain yang redaksinya berbunyi, “Bila pada hari itu seseorang berpuasa, maka ia seperti berpuasa enam puluh tahun yang lalu dan enam puluh tahun yang akan datang.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Jauzi dalam “Al-Maudhu’at” (hadits-hadits palsu), dan dalam komentarnya ia berkata: hadits ini palsu, dan sanadnya gelap. (Tuhfah Al-Ahwazi, Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, jilid 3, hal. 505).
Al-Mubarakfuri berkata, “Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad-Dukhan 3-4) menurut jumhur ulama adalah malam Lailatul Qadar. Pendapat lain mengatakan malam nishfu Sya’ban. Pendapat jumhur ulama itulah yang benar.” (Tuhfaz Al-Ahwazi, jilid 3, hal. 504).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa malam yang diberkahi itu adalah malam nishfu Sya’ban, maka sungguh jauh dari kebenaran. Karena, nash Al-Qur’an menunjukkan bahwa malam yang diberkahi itu adalah dalam bulan Ramadhan.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 7, hal. 158).
Dalam kitabnya Al-Fatawa, Syaikhul Azhar Mahmud Syaltut (wafat 1383 H) berkata: “Yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan diriwayatkan dari para shahabat serta diterima oleh para ulama itu hanya keutamaan bulan Sya’ban semuanya, tidak ada beda antara satu malam dengan malam lainnya. Secara umum, dianjurkan pada bulan Sya’ban untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan. Secara khusus, dianjurkan memperbanyak puasa untuk melatih diri berpuasa dan untuk menyiapkan diri menyambut Ramadhan agar tidak mengejutkan orang-orang dengan perubahan kebiasaan mereka maka menyusahkan mereka. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya: “Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau menjawab (puasa) Sya’ban untuk mengagungkan bulan Ramadhan.” Mengagungkan bulan Ramadhan itu dengan cara menyambutnya dengan baik dan merasa nyaman dengan Ramadhan dengan ibadah padanya dan tidak bosan dengannya. Adapun mengkhususkan malam nishfu Sya’ban dan berkumpul untuk menghidupkan malamnya dengan amalan tertentu, shalat dan doa malam nishfu Sya’ban, maka itu semua tidak ada satupun dalil yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh seorangpun dari generasi awal umat (para sahabat).” (Al-Fatawa, hal. 165-166)
Selanjutnya Syaikh Mahmud Syaltut berkata, “Penting bagi saya untuk mengutip apa yang ditulis oleh Syaikh Imam Muhammad Abduh mengenai tafsir ayat “Malam yang diberkahi” (surat Adh-Dhukhan ayat 3-4) dalam tafsirnya “Juz amma”.
Syaikh Imam Muhammad Abduh berkata: “Adapun apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang -bahwa malam yang diberkahi yang dijelaskan semua urusan dengan hikmah padanya (sebagimana disebutkan dalam surat Ad-Dukhan ayat 3-4) adalah malam nishfu Sya’ban, dan urusan-urusan yang dijelaskan padanya adalah rezki-rezki dan umur-umur, dan demikian pula apa yang mereka katakan semisal itu dalam malam Lailatul Qadar – perkataan mereka itu adalah kelancangan berbicara dalam persoalan ghaib tanpa hujjah yang qath’i (pasti). Padahal kita tidak boleh meyakini sesuatu dari itu selama belum datang khabar (hadits) mutawatir dari orang yang ma’shum shallallahu’alaihi wa sallam, namun dalam hal ini tidak ada dalilnya, karena riwayat-riwayatnya muththarib (redaksinya berbeda satu sama lainnya) dan kebanyakannya lemah, serta banyak kedustaan darinya. Riwayat seperti ini tidak boleh diamalkan dalam persoalan aqidah. Dan yang semisal dengan itu dikatakan dalam Baitul Izzah dan turunnya Al-Qur’an padanya dengan sekaligus pada malam itu. Maka ini tidak boleh masuk dalam aqidah agama karena tidak ada khabar (hadits) yang mutawatir dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, dan kita tidak boleh mengamalkannya dengan zhan (dugaan) dalam persoalan aqidah seperti ini. Jika tidak, maka kita termasuk dalam kecaman orang-orang yang dikatakan terhadap mereka dalam ayat ”Dan mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaidah sedikipun terhadap kebenaran.” (An-Najm: 28) Nau’uzubillah. Sungguh umat Islam telah mengalami musibah ini, musibah percampubauran antara apa yang sah diyakini dari hal-hal yang ghaib yang dianggap termasuk aqidah agama dan antara apa yang diduga untuk beramal atas suatu keutamaan dari keutamaan-keutamaannya.” (Al-Fatawa, hal.166).
Mengomentari perkataan Imam Muhammad Abduh di atas, Syaikh Mahmud Syaltut berkata, ”Al-Ustaz Al-Imam memperingatkan kita dari mengamalkan persoalan aqidah dengan hukum zhan (dugaan), karena zhan itu tidak bersumber darinya keyakinan, dan zhan itu tidak berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran. Beraqidah dengan zhan adalah perkataan atas nama (agama) Allah dengan tanpa ilmu. Berkata atas nama (agama) Allah dengan tanpa ilmu adalah perbuatan dosa dan pelanggaran di sisi Allah. Inilah manhajnya (Imam Muhammad Abduh) dalam aqidah, dan manhajnya dalam menafsirkan kitabullah (Al-Qur’an) yaitu menempuh jalan dengan hujjah yang jelas dan beraqidah dengan hujjah yang qath’i serta menjauhi zhan (dugaan kuat) dan waham (dugaan lemah) dalam menafsirkan kitabullah. Semoga Allah memberikan rahmat kepada Imam (Muhammad Abduh). Dan kesalamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk.” (Al-fatawa: 166)
Syaikh Al-‘Utsaimin (wafat 1421) pernah ditanya mengenai hukum mengkhususkan hari ke 15 dari bulan Sya’ban dengan zikir-zikir khusus, membaca Al-Qur’an, puasa dan Shalat. Maka beliau berkata, “Yang benar bahwa puasa nishfu Sya’ban atau mengkhususkannya dengan membaca Al-Qur’an atau dengan zikir itu tidak ada dasar hukumnya. Nishfu Sya’ban itu sama seperti hari-hari pertengahan bulan-bulan lainnya. Dan sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin disyariatkan untuk berpuasa pada tiga hari putih (ayyamul bidh) setiap bulan. Namun Sya’ban memiliki keutamaan yang lebih dari bulan lainnya dalam memperbanyak puasa, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa paling banyak di Sya’ban dibandingkan hari-hari lainnya, sehingga beliau berpuasa seluruhnya kecuali beberapa hari saja. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi seorang muslim jika tidak menyusahkannya untuk memperbanyak puasa di Sya’ban mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 1, hal. 190)
Dalam kitabnya Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha, Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Tidak ada haditS shahih mengenai puasa nishfu Sya’ban. Adapun kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang pada malam nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid-masjid dan doa dengan doa’ khusus, semua itu bid’ah yang tidak ada asalnya dalam agama Allah swt.” (Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha, Hasan Ayyub, hal. 421).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq (wafat 1420 H) dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah, beliau berkata: “Mengkhususkan puasa pada hari nishfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersebut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid 1, hal. 416).
Begitu pula Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Ash-Shiyam berkata: “Perlu kami ingatkan bahwa yang dilarang dalam puasa yang bid’ah ini (puasa nishfu Sya’ban) yaitu mengkhususkan puasa pada hari itu. Namun jika seseorang berpuasa hari itu dengan puasa sunnat yang biasa dia lakukan seperti Senin dan Kamis, atau puasa pertengahan bulan (hari ke 13, 14 dan 15) bulan hijriah, maka itu tidak dilarang dan tidak ada masalah. (Fiqh Ash-Shiyam, Yusuf Al-Qaradhawi, hal. 138).
Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya tentang hukum menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan ibadah dan puasa pada siang harinya (tanggal 15 sya’ban). Beliau berkata: “Tidak ada dalil yang shahih dari Nabi saw yang mengkhususkan shalat pada malam nishfu Sya’ban untuk shalat malam secara khusus dan tidak pula puasa pada siang harinya secara khusus. Tidak ada satupun riwayat dari Nabi saw yang bisa dijadikan sandaran untuk hal ini. Malam nishfu Sya’ban itu seperti juga halnya malam-malam lainnya, jika seseorang terbiasa melakukan shalat malam maka dia boleh melakukan shalat malam padanya seperti hari-hari lainnya, tanpa meyakini keutamaanya, karena mengkhususkan waktu tertentu untuk melakukan suatu ibadah harus berdasarkan dalil yang shahih (yang menunjukkannya). Jika tidak ada dalil shahih maka perbuatan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah itu kesesatan. Demikian pula puasa pada hari ke 15 atau nishfu Sya’ban, tidak ada dalil shahih satupun dari Nabi saw yang menunjukkan disyariatkannya puasa pada hari tersebut.”
Selanjutnya beliau berkata, “Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits lemah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriah), maka ia boleh melakukan puasa pada pertengahan Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja, sebagaimana Nabi saw pun berpuasa dan membanyak puasa pada bulan ini (Sya’ban), tapi tidak mengkhususkan hari tersebut (pertengahannya yakni tanggal 15 Sya’ban). Hanya saja hari tersebut termasuk di dalamnya (tanpa beliau khususkan).” (Nurun ‘ala ad-Darbi, Fataawa Fadhilah Asy- Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, jilid 1, hal. 97).
Syaikh Hammud bin Abdullah Al-Mathar dalam kitabnya Al-Bida’ Wa Al-Muhdatsaat Wa Maa Laa Ashla Lahu, menjelaskan tentang bid’ahnya mengkhususkan ibadah tertentu pada nishfu Sya’ban seperti shalat malam nishfu Sya’ban, puasa pada siang hari nishfu Sya’ban, bersedekah, baca Al-Qur’an dan memperingati malam nishfu Sya’ban. Beliau menukilkan perkataan Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts wal al-Ifta’ (Lembaga Tetap Untuk Penelitian dan Fatwa) kerajaan Arab Saudi.
Demikian penjelasan para ulama mengenai hukum amalan khusus pada malam nishfu Sya’ban dan siangnya. Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, maka jelaslah bahwa mengkhususkan malam nisfhu Sya’ban dengan shalat Raghaib, Alfiyyah, tasbih, zikir, doa dan sebagainya dan mengkhususkan siangnya dengan puasa adalah bid’ah yang tidak ada asalnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula diamalkan oleh seorangpun dari kalangan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.
Kesimpulannya, menurut para ulama, tidak ada dalil satupun yang shahih mengenai amalan khusus nishfu Sya’ban, baik malamnya maupun siangnya. Dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan nishfu Sya’ban dan amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban seperti shalat Raghaib, shalat Alfiyyah, dan sebagainya, dan puasa khusus siang hari padanya adalah sangat lemah dan palsu. Adapun perbuatan amalan khusus nishfu Sya’ban yang dilakukan oleh sebahagian orang adalah perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam agama.
Selain itu, penulis juga telah merujuk persoalan ini kepada kitab-kitab Fiqh karya para ulama yang mu’tamad dan mu’tabar dalam mazhab Asy-Syafi’i dan lainnya yang membahas topik puasa-puasa sunnat dan shalat-shalat sunnat, baik kitab turats (klasik) maupun mu’ashir (kontemporer).
Di antara kitab-kitab Fiqh turats yang mu’tamad dan mu’tabar yang penulis meneliti dan mengkajinya dalam persoalan ini yaitu Al-Umm karangan Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), Muhkthashar Al-Muzani ‘ala Al-Umm karangan Imam Al-Muzani (wafat 264 H), Al-Muhazzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi (wafat 476 H), Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Al-Ghazali (wafat 505 H), Al-Bayan fi Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Al-‘Imrani Asy-Syafi’i (wafat 558 H), Al-Mughni karangan Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali (wafat 620), Al-Muharrar fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Al-Qazwani (wafat 624 H), Minhaj Ath-Thalibin karangan Imam An-Nawawi (wafat 676 H), Al-Majmu’ karangan imam An-Nawawi, Tuhfah Al-Muhtaj karangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami (wafat 676 H), Zad Al-Ma’ad karangan Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H), Kifayah Al-Akhyar karangan Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Asy-Syafi’i (wafat 839 H), Al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’ karangan Imam Ibnu Al-Khatib Asy-Syarbaini (wafat 977 H), Mughni Al-Muhtaj karangan Imam Ibnu Al-Khatib Asy-Syarbaini (wafat 977 H), Fathu Al-Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Maliabari (wafat 987 H). Hasyiyatan Qalyubi wa ‘Umairah karangan Syaikh Syihabuddin Ahmad Al-Qalyubi (wafat 1069 H) dan Syaikh Syihabuddin Ahmad ‘Umairah (957 H), Hasyiah Asy-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri (wafat 1277 H), dan lainnya.
Di antara kitab-kitab Fiqh mu’ashir yang penulis meneliti dan mengkajinya dalam persoalan ini yaitu Fiqh As-Sunnah karangan Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh Al’-”Ibadat wa Adillatiha karangan Hasan Ayyub, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh karangan Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Al-Islami karangan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Shahih Fiqh As-Sunnah katangan Syaikh Abu Malik, Fiqh Asy-Shiyam karangan Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Muhktashar Al-Fiqh Al-Islami karangan Syaikh Muhammad At-Tuwaijiri, Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi karangan Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa As-Sunnah karangan beberapa ulama, dan lainnya.
Penulis telah membaca dan mengkaji penjelasan para ulama dalam kitab-kitab Fiqh mereka tersebut di atas mengenai shalat-shalat dan puasa-puasa sunat. Namun penulis tidak menemukan satupun kitab yang menyebutkan bahwa shalat malam nishfu Sya’ban termasuk shalat-shalat sunnat dan tidak pula puasa nishfu Sya’ban termasuk puasa-puasa sunnat. Seandainya hal itu termasuk shalat dan puasa sunnat, pasti disebutkan dalam kitab-kitab tersebut. Dengan demikian, shalat malam nishfu Sya’ban bukan shalat sunnat, tapi perbuatan bid’ah. Begitu pula puasa nisfu Sya’ban bukan puasa sunnat, tapi perbuatan bid’ah.
Akhirnya mari kita beribadah sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (dalil yang shahih), agar ibadah kita diterima oleh Allah ta’ala dan tidak menuai murka dan azab-Nya. Karena, ibadah itu bersifat tauqifiyyah (berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadits yang shahih). Bila tidak, maka ibadah kita tidak akan diiterima oleh Allah ta’ala, bahkan diancam dengan neraka sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Semoga Allah ta’ala senantiasa memberi petunjuk kepada kita dan menerima amal ibadah kita serta menjauhkan kita dari perbuatan bid’ah yang dapat merusak syariat Allah ta’ala. Aamin…!
*) Penulis adalah Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh International Islamic University Malaysia (IIUM), Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.
(*/arrahmah.id)