Oleh:
Abdullah Mahmud
(Arrahmah.com) – Pola perubahan manusia yang paling signifikan adalah lewat pendidikan. Ada teori wahyu dan seabrek teori manusia; ada pola Barat, pola Timur dan pola Islam. Sebanyak 6 orang profesor pendidikan di Mesir mempelajari berbagai teori manusia termasuk yang dianggap paling canggih adalah Barat dan Israel.
Barat menggunakan teori sekularisme; agama wilayah pribadi, agama dan negara harus dipisah. Teori inilah yang digaungkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana agar bangsa Indonesia mengikuti Barat dan meninggalkan semua budaya lokal dalam artikel yang ditulis tahun 1935 berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.”
Diikuti oleh Soekarno yang mengikuti pola Turki. Pada tahun 1940 menulis artikel dengan judul “Memudakan Islam” kemudian dibantah oleh A. Hasan dan M. Natsir di masa itu. Berbeda dengan Israel yang mendasarkan teori pendidikannya pada 3 hal:
Pertama, kembali kepada ajaran agama Yahudi.
Kedua, mengajarkan berfikir bebas.
Ketiga, menguasai teknologi.
Menurut Prof. Naquib Al-Attas dari Malaysia bahwa kelemahan pendidikan dunia Islam itu karena loss of adab yang berakibat kepada confusion of knowledge.
Menurut Prof. B.J. Habibie adalah Imtaq (Iman dan Taqwa) dan menguasai Iptek (Ilmu pengetahuan dan teknologi).
Sedangkan menurut Pembukaan UUD 1945 “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, …” serta pasal 31 UUD 1945 menegaskan, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Begitu mulia tujuan pendidikan di bangsa Indonesia secara teoritis. Tapi apa kenyataan yang bisa kita lihat? Korupsi merajalela, dekadensi moral mengkhawatirkan, integritas pribadi dan rumah tangga yang carut marut, bahkan kita temukan tulisan-tulisan di dinding-dinding sekolah slogan: “Cerdas, Terampil, Bertaqwa”, bertakwa terakhir, pantas kalau hasilnya amburadul.
Timbul suara-suara koreksi dari berbagai pihak yang menuduh karut-marut keadaan bangsa karena ketidak beresan pendidikan, paling tidak itulah yang disuarakan oleh para pakar pendidikan di Lembaga Pengkajian MPR RI tanggal 24 Oktober 2017. Bahkan mantan menteri pendidikan Prof. Dr. Anies Baswedan menyuarakan perbaikan pendidikan melalui tiga hal:
Pertama, pendidikan karakter.
Kedua, kompetensi.
Ketiga, literasi.
Kita ummat Islam yang dibimbing oleh wahyu Alqur’an dan dibuktikan oleh keberhasilan Rasulullah ﷺ dengan mendidik generasi terbaik para sahabat yang terbukti telah merubah dunia dan meruntuhkan dua super power di masanya yaitu Persia dan Romawi. Mengapa kita tidak merujuk kepada pola ilahi itu? Kadang-kadang kita terlalu kagum menoleh kepada Barat dan Timur, sementara kita punya panduan yang canggih justru kita tinggalkan.
Pada bulan Ramadhan ini, mari kita evaluasi lagi pola pendidikan kita agar sukses dunia dan akhirat. Secara undang-undang nasional sudah memberikan pijakan bagus, tinggal implementasinya itu tidak menemukan langkah tepat.
Ayo kita gali bagaimana cara Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan Nabi ﷺ untuk merubah manusia. Selama ini kita lebih mengandalkan akal kita, padahal akal ada keterbatasan. Akhirnya kita berjibaku dengan trial and error, alias uji coba yang tidak ada habisnya. Sementara konsep Al-Qur’an dipraktikkan Nabi ﷺ melahirkan generasi gemilang yang telah merubah peradaban ummat manusia menjadi beradab dan berkesejahteraan. Al-Qur’an mengajarkan tiga hal yang diperhatikan secara esensial:
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang (1) membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, (2) menyucikan (jiwa) mereka dan (3) mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Jumu’ah, 62: 2)
(1) Perhatikan qalbu, (2) rubah jiwa dan (3) pintarkan akal. Begitu urutannya.
[Pertama] perbaiki qalbu. Bila qalbu bagus atas petunjuk Alqur’an, maka keinginan manusia menjadi benar.
فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا
Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar. (QS. Al-Furqan, 25: 52)
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا
Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci? (QS. Muhammad, 47: 24)
Bukankah manusia melangkah itu berawal dari keinginannya? Bila keinginannya baik, maka seluruh akal dan prilakunya mengikuti ke arah yang baik. Bila keinginannya buruk, maka akal dan perbuatannya akan ke arah yang jahat. Itulah arahan Nabi ﷺ:
« إنَّما الأعْمالُ بالنِّيّاتِ ».
“Sungguh seluruh amal itu tergantung niatnya.”
Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa niat itu menempati sepertiga ilmu agama. Niat ini dibangun di atas tauhid sehingga tunduk kepada syariat Allah,
ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-Jatsiyah, 45: 18)
bersambung …