MEDAN (Arrahmah.com) – Keadilan di negeri ini begitu mahal harganya. Hingga 2 Muslimah Pekerja Rumah Tangga (PRT) harus membayarnya dengan nyawa mereka untuk mempetisi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk segera mengesahkan UU Perlindungan PRT, sebagaimana diterbitkan Wagini,Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga Sumatera Utara dan Anggota JALA PRT pada change.org, Kamis (11/12/2014).
Khadimat atau asisten rumah tangga, atau PRT begitu rentan dari perlakuan dzalim para pengguna jasanya (majikan). Bahkan pada 28 November 2014, kasus penganiayaan berakhir kematian Cici (30), PRT asal Jawa Tengah oleh sekeluarga majikannya terkuak di media, sebagaimana dilansir Liputan 6 (9/12).
Adalah Cici, Yanti, Endang Murdaningsih, Anis Rahayu, dan Rukmiani para Muslimah dengan profesi sebagai PRT yang menjadi korban kekerasan, penyiksaan dan perbudakan di Medan. Mereka semua disiksa secara keroyokan oleh Syamsul Anwar, majikan kelima PRT sekaligus pemilik agen penyalur pembantu CV Maju Jaya.
Syamsul melakukan (lagi!) tindak perbudakan, penganiayaan dan pengeroyokan terhadap setidaknya lima orang PRT. Bersama isteri, anak dan keponakannya, dia melakukan tindakan keji tersebut di Jalan Beo simpang Jl. Angsa Setiajadi Medan Timur. Bahkan, 2 diantara korban PRT meninggal dunia. Hal ini tentu tak hanya terjadi di Medan saja, masih banyak kasus serupa yang masih tersembunyi, menelan korban serupa Cici lainnya.
Dengan demikian, diedarkanlah sebuah petisi yang diterbitkan Wagini, Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga Sumatera Utara dan Anggota JALA PRT pada change.org agar pemerintah -melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi- segera melindungi para PRT dengan payung hukum, Kamis (11/12).
Berikut isi petisi yang Tim Arrahmah kutip, disertai laporan kejadian yang terjadi mengenai kasus penganiayaan dan pembunuhan PRT di Medan tersebut.
Pertama, korban mengalami penyiksaan dan kekerasan secara terus menerus, baik siang maupun malam. Tindak penyiksaan, penganiayaan dan pengeroyokan ini mengakibatkan 2 PRT meninggal yaitu Cici dan Yanti. Tindak kekerasan terus menerus tersebut mengakibatkan Cici (30) meninggal pada tanggal 28 Oktober 2014. Kekerasan yang sama dialami oleh Yanti, Iyem, Anis Rahayu, Endang Murdaningsih, Rukmiani yang ditemukan di rumah pelaku. Diduga masih banyak PRT lainnya mengalami tindak kekerasan yang sama.
Kedua, selama bekerja dan berada di rumah pelaku, korban bekerja dalam situasi perbudakan dimana korban bekerja dari jam 4.30 dini hari sampai pukul 01.00 WB. Korban hanya tidur maksimal selama 4 jam sehari. Korban tidur di lantai tanpa alas, di gang sempit dekat dapur, tanpa ruangan khusus untuk istirahat. Korban juga tidak mendapat asupan konsumsi yang layak, bahkan terkadang dua hari tanpa makanan. Bila majikan sedang marah para korban kerap disuap paksa memakan dedak dicampur duri ikan. Selama bekerja, korban tidak diizinkan keluar rumah. Bahkan yang paling menyesakkan, korban tidak dibayar upahnya. Endang misalnya hingga 5 tahun tidak dibayar!.
Ini bukan kali pertama Syamsul Arief dan keluarga melakukan penganiayaan terhadap Pekerja Rumah Tanga.
Pada tanggal 3 Februari 2011, 3 orang PRT menyelematkan diri dari rumah pelaku dengan cara melompat pagar setinggi 2 meter, yaitu Sumiati asal Grobogan Jawa Tengah, Bariah asal tasikmalaya Jawa Barat, dan Susilah asal Purbalingga Jawa tengah.
Selain itu pada 23 September 2013, 5 perempuan yang rencananya akan dipekerjakan sebagai PRT menyelamatkan diri dari rumah pelaku dengan menggunakan tali nilon dari lantai dua, kemudian mereka melakukan laporan ke Polresta Medan Sayangnya, tidak ada proses hukum terhadap pelaku H. Syamsul dan keluarganya sehingga mereka tetap bebas dan mengulang kembali perbuatannya.
Kasus kekerasan dan pelangaran hak terhadap PRT bukan saja terjadi di Medan Timur. Hal yang sama terjadi di banyak tempat di dalam maupun luar negeri. Perjuangan panjang kami, para PRT, tak kunjung dapat jawaban. Berapa banyak lagi PRT yang harus jadi korban hingga meninggal dunia? Bukankah PRT juga manusia yang punya hak sama dengan pekerja lainnya?
Jika tidak adanya pengakuan dan perlindungan negara bagi PRT, hal ini akan terus terjadi. Kami butuh Undang Undang Perlindungan PRT! Hingga saat ini, DPR dan Pemerintah belum juga mengesahkan UU Perlindungan PRT dan juga meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT.
Meskipun sudah diperjuangkan lebih dari 10 tahun, RUU Perlindungan PRT yang seharusnya menjadi dasar pengakuan dan perlindungan PRT tidak kunjung dibahas dan disahkan. Padahal di tingkat Internasional sudah lahir Konvensi ILO 189 Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga 16 Juni 2011.
Komisi IX DPR RI dan Badan Legislasi DPR RI harus segera memasukkan RUU Perlindungan PRT dalam daftar prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2015, agar RUU tersebut dapat segera dibahas dan disahkan!
Pekerja Rumah Tangga semestinya tidak dibeda-bedakan haknya dari pekerja yang lain. Sebagai pekerja, kami juga berhak atas situasi kerja layak. Kami bekerja mengerjakan tugas kerumahtanggaan yang memungkinkan anggota rumah tangga menjalankan berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan pendidikan. Pekerjaan kami sangat penting dan dibutuhkan oleh jutaan keluarga dan nyata menopang jalannya perekonomian nasional.
Kami #PRT (Pekerja Rumah Tangga) dan segenap masyarakat sipil yang mencintai kemanusiaan dan keadilan #TIDAKAKANDIAM memperjuangkan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak dan situasi kerja layak PRT.
Kami juga akan terus memantau dan mendesak penegakan hukum dari Kepolisian Resort Kota Medan, terhadap kasus penyiksaan PRT, agar kasus ini menimbulkan efek jera bagi pelaku dan siapa saja untuk tidak melakukan tindak kekerasan.
Wagini
Pekerja Rumah Tangga bekerja di Medan
Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga Sumatera Utara dan Anggota JALA PRT
(adibahasan/arrahmah.com)