(Arrahmah.com) – Agak aneh sekolah dengan label Islam menggunakan kurikulum kaum kafir harbi Amerika Serikat. Sekolah itu bernama SD Lazuardi Tursina Global Islamic School (GIS), tiba-tiba muncul di Banyuwangi. Sekolah ini kabarnya akan menerapkan kurikulum pendidikan dengan standar Universitas Cambridge, Amerika. Sebagai perkenalan, telah dilangsungkan soft launching pada hari Senin (17/3/2014) di Banyuwangi, Jawa Timur.
Situs Kabupaten Banyuwangi menulis, hadir pada acara tersebut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, ketua Yayasan Lazuardi Haidar Bagir, pakar pendidikan berbasis multiple intelligences (kecerdasan ganda/majemuk-red) Munif Chatib dan Ny. Dani Azwar Anas, Ny. Lubna Assagaf, Ketua NU Banyuwangi, Ketua Muhammadiyah dan Ketua LDII.
Dari namanya tidak tampak GIS membawa paham kesesatan Syiah, bahkan ada kata-kata Islam di sana, tak beda dengan nama Republik Islam Iran. Secara etimologis manusia kebanyakan memahami dia sebuah negara Islam yang menjalankan syariat Islam, melindungi kaum Muslimin dan membelanya. Namun kenyataannya berbanding terbalik seperi langit dan bumi, Iran tidak menjalankan syariat Islam, bahkan menindas dan membunuh kaum Muslimin Ahus Sunnah di negeri-negeri Muslim.
Demikian pula dengan sekolah Lazuardi, coba tengok siapa pendiri sekolah ini. Sekolah ini didirikan oleh Yayasan Lazuardi yang ketuanya adalah Haidar Bagir, salah satu gembong Syiah Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan dan pemikiran.
Haidar Bagir merupakan pendiri penerbit Mizan dan group. Penerbit ini banyak sekali menerjemahkan karya-karta pendeta Syiah. Oleh karena itu, perlu diwaspadai buku-buku terbitan Mizan tentang persoalan Syiah dan Ahlus Sunnah. Dia juga pernah HU Republika, sehingga sampai sekarang pengaruhnya terhadap pemberitaan Syi’ah masih menyudutkan Ahlus Sunnah, membela Iran dan sekutu-sekutu Syi’ahnya, dan melakukan taqiyah dalam pemberitaannya.
Syiah berulah lagi, hendak memancing rusuh. Apa maksud mereka mendirikan sekolah Syiah di tengah-tengah mayoritas penduduk Banyuwangi yang secara historis kultural berkiblat kepada ulama-ulama Nahdliyyin? Banyuwangi adalah salah satu daerah tapal kuda basis Nahdliyyin yang cukup tempramen, satu tipe dengan daerah-daerah di Jawa Timur lainnya.
Jelas-jelas Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri sekaligus Rois Akbar Nahdlatul Ulama (NU) telah menolak semua madzhab yang ada pada Syiah baik itu Ghulat, Rafidhah atau Zaidiyah. Beliau menyatakan dengan tegas madzhab Imamiyah dan Zaidiyah keduanya tidak sah diikuti umat Islam, dan tidak boleh dipegang pendapatnya sebab mereka adalah ahli bid’ah. (Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari, Risalah fi Ta’akkud al Akhdzi bi al Madzahib al Arba’ah, Jombang Maktabat at Turats al Islami, h.29)
Sementara Syiah bila sudah bercokol di suatu wilayah dimanapun pasti akan mengobrak-abrik tatanan masyarakat yang ada di dalamnya karena aqidah beracun yang mereka tanamkan, seperti yang saat ini terjadi di Suriah, Irak, Bahrain. Dan tidak perlu jauh-jauh, kerusuhan Sampang dan Puger, Jember bisa menjadi patokan keberingasan para penganut Syiah di Jawa Timur.
Nampaknya tak perlu jauh membawa ingatan kita pada ulah kelompok Syiah, peristiwa rusuh kelompok Syiah di Jember cukup menjadi contoh bagaimana mereka berulah. Sedikit sekali jumlah mereka di Jember berhasil membunuh warga Sunni. “Rakyat Kabupaten Jember jumlahnya 2 juta orang atau lebih semuanya Sunni, hanya beberapa gelintir saja yang Syiah belum sampai setengah persennya, mereka berani membunuh Sunni. Bagaimana nanti kalau sampai mereka mencapai 5 persen? Tidak mustahil jika para kyai Sunni akan dibantai,” demikian isi pesan singkat seorang Kiai di Jember yang cukup menonjol.
Pada bentrokan Jember berdarah September 2013 lalu itu menyebabkan seorang Muslim ahlus Sunnah bernama Eko Mardi (27) meninggal dunia. Korban merupakan saksi kunci pada peritiwa pemukulan terhadap warga oleh pengikut Syiah pada Mei 2012. Selain itu dua masjid dirusak,puluhan perahu dan rumah warga hancur.
Menurut Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin, bentrok berdarah yang terjadi di Jember tepatnya di Desa Puger Kulon Kecamatan Puger, Jember, Rabu (11/9/2013) sore karena kelompok Syiah Jember memaksakan menggelar pawai atau karnaval meski warga Puger menolaknya.
Bentrok berdarah ini dipicu oleh Pawai Karnaval 17 Agustus yang diselenggarakan oleh Ponpes Darus Sholihin pimpinan ustadz Ali. Ponpes ini memang sejak lama ditengarai menganut paham Syiah.
KH Abdullah Syamsul Arifin mengatakan, sejumlah warga sekitar memang menolak pawai yang digelar oleh ponpes Darus Sholihin.
“Warga tidak ingin karnaval itu digelar di luar pesantren. Karena pawai itu diadakan oleh pondok aliran Syiah. Karnaval itu, juga tidak mendapat izin kepolisian,” kata Kiai Syamsul saat dihubungi, Rabu (11/9/2013).
Pembaca yang budiman, ilustrasi di bawah ini, kiranya dapat menggambarkan kondisi kaum Syi’ah yang berpura-pura menerima Islam tapi mendustakan Al-Qur’an, menghina ajaran Muhammad shal- lallahu ‘alaihi wasallam dan melecehkan sahabatnya.
Suatu hari akan diadakan dialog antara 7 orang ulama Syi’ah dan 7 orang ulama Islam. Pada waktu dan hari yang telah ditentukan, berkumpullah 7 orang ulama Syi’ah di tem- pat yang telah disepakati, tetapi tidak satu pun dari ulama Islam yang hadir, kecuali seorang yang datangnya terlambat.
Masuklah sang ulama Islam itu ke ruang pertemuan bertelanjang kaki sambil menjepit kedua sandal di ketiaknya.
Heran menyaksikan polah ulama Islam itu, maka ulama Syi’ah yang hadir disitu bertanya. “Mengapa engkau mem- bawa sandal di ketiakmu?”
“Setahuku orang-orang Syi’ah suka mencuri sandal di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”, jawab ulama Islam dengan nada santun.
Ulama Syi’ah pada bengong sambil memandang sesama mereka dan bertanya: “Adakah Syi’ah di zaman Nabi Muhammad?”
Spontan sang ulama Islam itu berkata: “Lalu dari mana asalnya agama Syi’ah yang kalian anut sekarang, jika belum ada di zaman Nabi. Kalian mengikuti ajaran siapa?”
(azm/arrahmah.com)