COLOMBO (Arrahmah.com) – Seorang biksu Budha dengan tenang mengambil batu dan melemparkannya ke arah kamera CCTV. Kemudian, sementara polisi hanya berdiri dan menonton, para pengikut biksu ekstrim itu menghancurkan Fashion Bug, sebuah gudang busana milik Muslim Sri Lanka.
Serangan bulan lalu di Fashion Bug di dekat Colombo, ibu kota Sri Lanka, didokumentasikan oleh sebuah stasiun televisi lokal yang juru kameranya diserang oleh massa, adalah puncak ketegangan provokasi anti-Muslim yang disulut oleh kelompok nasionalis Buddha di Sri Lanka, seperti dlansir Al-Arabiya pada Ahad (7/4/2013).
Eskalasi serangan dan retorika anti-Muslim telah menimbulkan kekhawatiran kekerasan etnis gelombang baru di negara yang masih belum pulih dari perang seperempat abad antara pemerintah, yang dikendalikan oleh etnis Sinhala Buddha, dan Hindu terutama etnis Tamil.
“Mereka baru saja selesai berburu Tamil, tanpa menyelesaikan masalah apa pun, dan sekarang mereka mulai mengincar Muslim. Hampir semua masyarakat minoritas sedang terancam,” kata pemimpin politik Islam, Azad Salley.
Kampanye anti-Muslim telah dipimpin oleh biksu dan dengan cepat mendapat pengikut di kalangan pemuda Buddhis melalui pidato provokatif dan teori konspirasi yang tersebar di media sosial.
Para pemimpin kampanye berkoar bahwa etnis Sinhala Buddha Srilanka, yang membentuk hampir 75 persen dari 20 juta penduduk negara itu serta mengontrol pemerintah dan militernya, berada di bawah ancaman Muslim yang hanya mencapai 9 persen di negara itu.
Para pemimpin anti-Muslim itu mengklaim bahwa Muslim Sri Lanka mendominasi bisnis bangsa, mengobarkan fundamentalisme agama dan bersekongkol untuk demografis mengambil alih negara dengan meningkatkan angka kelahiran mereka sambil diam-diam memandulkan etnis Sinhala.
Sebuah kelompok relawan Muslim, yang tidak ingin diketahui identitasnya, telah mendokumentasikan 33 insiden anti-Muslim sejak September 2011. Termasuk diantaranya lima serangan terhadap tempat-tempat ibadah Muslim, serangan terhadap bisnis Muslim dan sebuah episode di mana para siswa Muslim di sekolah pertanian pemerintah disajikan babi yang jelas-jelas haram bagi kaum Muslim.
Nasionalis Buddha menuntut pemimpin Islam berhenti menerbitkan sertifikat “Halal”. Mereka mengklaim bahwa biaya yang dibayarkan untuk sertifikasi ditanggungkan “tanpa disadari” kepada konsumen non-Muslim dan digunakan untuk membangun masjid.
Awal bulan lalu, Ulama Muslim Sri Lanka akhirnya dengan berat hati sepakat untuk menghapus label halal dari produk-produk lokal, kecuali untuk ekspor ke negara-negara Muslim, demi meredakan ketegangan dengan mayoritas umat Buddha.
Mereka juga telah mengkampanyekan undang-undang yang ditujukan untuk komunitas Muslim. Salah satunya ingin melarang wanita mengenakan cadar.
“Saya memiliki hak fundamental ketika saya pergi di jalan untuk melihat wajah seseorang,” klaim Dilantha Withanage, seorang pejabat dari kelompok nasionalis Buddha terkemuka, Bodu Bala Sena (BBS), atau Angkatan Buddha.
Hukum lain yang mereka kampanyekan yaitu ingin menghentikan pria Muslim untuk dapat menikahi sampai empat wanita.
Withanage menolak disebut memiliki agenda anti-Islam, dia mengklaim kelompoknya hanya ingin Buddhisme mendapatkan peran untuk membangun peradaban Sri Lanka, sementara agama-agama lain masih bisa dipraktekkan.
Serangan pada Fashion Bug terjadi seminggu setelah seorang biksu menuduh perusahaan itu dan bisnis Muslim lainnya melakukan “kejahatan seksual” terhadap karyawan perempuan Sinhala dan mengkonversi mereka ke Islam dengan cara menikahkan mereka dengan karyawan Muslim. Massa yang terprovokasi menyerbu toko tersebut dengan fitnah bahwa seorang gadis berusia 15 tahun telah diperkosa di dalam, tuduhan keji yang terbukti palsu.
Biksu lain memfitnah toko pakaian milik Muslim lainnya sedang memberikan permen gratis kepada pelanggan wanita Sinhala dengan bahan-bahan yang menyebabkan keguguran dan kemandulan. Dia juga memfitnah bahwa ikat pinggang pria yang dijual oleh perusahaan-perusahaan Muslim ini menyebabkan penyakit ginjal dan penyakit kelamin bagi para penggunanya.
Di samping itu, pesan teks yang dikirim secara massal memfitnah produk perusahaan manufaktur pembalut wanita milik Muslim lainnya bisa menyebabkan kemandulan. Tuduhan yang mengada-ada tersebut diedarkan di Facebook dan juga Twitter.
Kampanye ini telah meneror Muslim, yang menduga pemerintah tidak hanya menolak untuk melindungi mereka, tetapi secara aktif malah turut mengobarkan ketegangan.
Kecurigaan bahwa pihak berwenang juga terlibat semakin tumbuh setelah polisi terlihat hanya berdiri dan menyaksikan serangan Fashion Bug.
Di tengah kritik kelambanan polisi, 17 tersangka, termasuk tiga biksu, dibawa ke pengadilan. Pengadilan kemudian membebaskan mereka, mengatakan mereka telah mencapai suatu penyelesaian damai. Juru kamera yang cedera dalam serangan itu juga menarik gugatannya dan mengatakan bahwa kasusnya mungkin bisa menciptakan kerusuhan sosial.
Penyedia telekomunikasi nasional di Sri Lanka mulai menjual lagu bertema BBS atau Pasukan Buddhis, sebagai nada dering untuk membantu mengumpulkan dana bagi kelompok mereka. Pada protes berikutnya, perusahaan itu meminta maaf untuk setiap “penderitaan emosional” yang mungkin dirasakan oleh masyarakat atas lagu itu, tetapi tetap menolak untuk menarik nada dering tersebut.
Sekretaris menteri pertahanan, Gotabhaya Rajapaksa, saudara presiden, baru-baru ini menjadi tamu utama di acara BBS, di mana ia membela kelompok tersebut.
“Para biksu terhormat selalu maju untuk melindungi negara, ras, agama dan budaya kita. Upaya ini adalah untuk membawa mereka ke jalan yang benar, bukan untuk menyebarkan kebencian,” klaimnya.
Mohamed Saleem, seorang pekerja komunitas Muslim di Colombo, menyebut dukungan sekretaris pertahanan dari kelompok ekstrimis itu mengkhawatirkan.
“Apakah warga Muslim juga warga negara ini atau bukan?” tanyanya.
Kaum Muslim, keturunan pedagang Arab yang datang ke pulau itu lebih dari satu milenium yang lalu, memiliki sejarah yang relatif damai dengan mayoritas Sinhala. Tapi mereka dianggap sebagai kelompok etnis yang terpisah.
Kusal Perera, seorang analis politik Sinhala, mengatakan ia yakin kampanye anti-Muslim ini ditujukan untuk mengalihkan isu-isu di Sri Lanka. Pedagang Sinhala telah terlihat mengambil kesempatan untuk “merebut pasar” yang didominasi oleh bisnis Muslim, katanya.
Mohammed Thanis, warga dari kota timur Kantalai, mengatakan pemerintah lebih peduli tentang mempertahankan keinginan Sinhala dan bukannya mengambil tindakan terhadap pasukan anti-Muslim. (banan/arrahmah.com)