TRIPOLI (Arrahmah.com) – Sejumlah laporan menyatakan bahwa protes yang berujung pada kekerasan telah meluas hingga sampai ke ibukota Libya, Tripoli. Para demonstran akan berarak menuju tempat persembunyian Ghaddafi, Guardian melaporkan pada Minggu (20/2/2011).
Protes menyebar ke Tripoli setelah penindasan berdarah oleh pasukan dan tentara bayaran pemerintah yang menembak demonstran tak bersenjata di Benghazi secara brutal. Korban tewas saat ini dilaporkan telah mencapai 230 orang.
BBC Arab melaporkan sudah mulai terdengar tembakan senjata otomatis dan gas air mata di ibukota untuk pertama kali sejak kerusuhan itu bermula. Rezim otoriter tersebut terus melanjutkan serangan ketika putra Gaddafi, Saif al-Islam, muncul di televisi pemerintah dan mengatakan insiden penembakan oleh pasukan pemerintah itu adalah sebuah “tragedi”.
“Ada rencana untuk menentang Libya,” kata Saif. Ia menyalahkan “kelompok Islam dengan agenda militer” untuk peristiwa pertumpahan darah di kota Benghazi.
Libya akan menjadi “sungai darah”, dan akan terjadi eksodus perusahaan minyak asing serta pendudukan oleh “imperialis” jika kekerasan terus berlanjut, katanya.
Sabtu tengah malam (19/2), demonstran dilaporkan di berkumpul Green Square Tripoli dan mempersiapkan untuk berbaris di kompleks Ghaddafi bersamaan dengan kabar yang berhembus bahwa Ghaddafi melarikan diri ke Venezuela.
Perkiraan jumlah korban jiwa selama enam hari kerusuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya berkisar antara 233 – angka terakhir yang diberikan oleh Human Rights Watch – hingga 285 orang. Tetapi beberapa sumber oposisi melaporkan angka kematian mencapai 500.
Dua putra lainnya Gaddafi, Khamis dan Saadi, dan kepala intelijen, Abdullah Sanussi, menurut laporan, memerintahkan pasukannya untuk menyerang para pemprotes di Benghazi, di mana tentara dan polisi terpaksa mundur ke balik benteng untuk menyerang demonstran dengan penembak jitu dan tembakan artileri.
As-Sharq al-Awsat, surat kabar Saudi, mengutip sumber yang dekat dengan keluarga Ghaddafi yang mengatakan bahwa mereka lebih baik mati di tanah Libya daripada menyerahkan kekuasaan seperti presiden Mesir dan Tunisia.
Sementara itu, AS, Inggris, dan Uni Eropa menyatakan kekhawatiran eskalasi kerusuhan di Libya. Pada hari Jumat (18/2) Inggris mencabut izin untuk ekspor senjata anti huru-hara. (althaf/arrahmah.com)