SERANG (Arrahmah.com) – Kasus korupsi di Indonesia sungguh telah menggurita. Persoalan korupsi ini bertambah ironis bahkan mengerikan karena rata-rata tersangka korupsi tidak merasa bersalah serta menyesali perbuatannya.
Menurut aktivis antikorupsi yang juga dosen Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Dahnil Anzar Simanjuntak, fakta tersebut tidak baik bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Mengingat koruptor yang kebanyakan dari mereka adalah politisi justru menggunakan berbagai cara untuk menuduh balik aparatur hukum seperti KPK sebagai lembaga yang tidak profesional dan tidak bersih, serta cenderung tebang pilih,” jelas Dahnil sebagaimana dilansir Rmol (Sabtu, 12/1/2014).
Para koruptor itu tidak merasa bersalah karena kebanyakan mereka yang ditangkap adalah politisi yang kemudian berusaha melakukan politisasi terhadap tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada mereka.
“Selain itu, ada perasaan dikorbankan,” tambah Dahnil.
Perasaan dikorbankan ini muncul karena para tersangka koruptor ini juga menemukan praktek yang serupa, dan bahkan ramai dilakukan oleh politisi atau pejabat lainnya. Tapi, hanya mereka yang ditangkap KPK.
Massifnya laku korupsi di negeri ini, kata Dahnil, membuat para tersangka merasa tidak bersalah. Toh yang lain juga melakukan hal serupa sehingga usaha menyeret rekan atau lawan politik dilakukan oleh tersangka korupsi tersebut.
“Kasus Anas Urbaningrum saya kira menggambarkan hal itu. Begitu juga dengan kasus Ratu Atut dan Rudi Rubiandini. Kondisi ini menggambarkan memang kita dihadapkan pada kondisi ‘darurat korupsi’ tidak ada musuh yang paling wahid yang harus dilawan hari ini di Indonesia selain korupsi. Maka, perlawanan terhadap korupsi fardhu ain dilakukan oleh seluruh elemen bangsa,” paparnya. (azm/m1/arrahmah.com)