MINNESOTA (Arrahmah.id) – Seorang profesor bernama Erika Lopez Prater asal Amerika Serikat menunjukkan potret lukisan Nabi Muhammad pada abad ke-14 kepada mahasiswanya di Universitas Hamline di kota St. Paul di Minnesota.
Lukisan tersebut ditunjukkan oleh Prater saat ia sedang mengajar mata kuliah seni, khusunya kursus seni global, pada akhir Oktober lalu.
Tindakan Prater itu sontak memancing kehebohan publik.
Dilansir Al Jazeera, salah seorang mahasiswi bernama Aram Wedatalla keberatan dengan tindakan sang profesor. Dia menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan bentuk tindakan Islamofobia.
“Sungguh menghancurkan hati saya bahwa saya harus berdiri di sini untuk memberi tahu orang-orang bahwa ada Islamofobia dan sesuatu yang benar-benar menyakiti kita semua, bukan hanya saya,” kata Aram Wedatalla, yang merupakan presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim Hamline, pada Ahad (14/5/2023).
Bagi umat Islam sendiri penggambaran Nabi Muhammad dilarang keras. Aksi tersebut dipandang sebagai pelanggaran iman.
Akibat aksi tersebut, Universitas Hamline langsung mengeluarkan tindakan keras terhadap Prater. Universitas Hamline memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan sang profesor.
Namun, Prater tidak terima dengan keputusan tersebut dan balik menggugat Universitas Hamline. Dalam gugatannya, Prater menyebutkan bahwa Universitas Hamline membuat Prater sebagai bagian dari diskriminasi agama dan pencemaran nama baik dan merusak reputasi profesional hingga pribadinya.
“Di antara hal-hal lain, Hamline, melalui administrasinya, menyebut tindakan Dr Lopez Prater sebagai ‘Islamofobia yang tidak dapat disangkal,” kata pengacaranya dalam sebuah pernyataan.
“Komentar seperti ini, yang sekarang telah diterbitkan dalam berita di seluruh dunia, akan mengikuti Dr. Lopez Prater sepanjang kariernya, yang berpotensi mengakibatkan ketidakmampuannya untuk mendapatkan posisi tetap di lembaga pendidikan tinggi manapun,” lanjutnya.
Pengacara Prater menyebutkan kliennya telah memberi peringatan sebelum gambar itu ditunjukkan. Selain itu dia telah memasukkan dalam silabus dan siap mengatasi siswa yang merasa tidak nyaman dengan pengajarannya.
Pihak Unversitas Hamline akhirnya mengubah sikap pada kejadian itu. Presiden Universitas Hamline Fayneese Miller dan Ketua Dewan Pengawas Ellen Watters mengatakan meninjau dan memeriksa kembali tindakan yang diambil oleh Universitas. Ini terjadi karena “komunikasi, artikel, dan opini”.
Pihak Universitas juga tidak menanggapi langsung soal gugatan Prater. Namun hanya mengatakan berencana melakukan dua percakapan publik dalam beberapa publik.
Diskusi itu terkait kebebasan akademik dan perawatan siswa. Sementara percakapan lainnya terkait kebebasan akademik dan agama. (rafa/arrahmah.id)