JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, apabila negara hadir mewajibkan kewajiban keagamaan seperti zakat, maka akan semakin kokoh.
Prof Ni’am, sapaan akrabnya menyampaikan, pengelolaan zakat sebelum diregulasi oleh negara, sudah berjalan berkat inisiasi masyarakat sudah muncul lewat amil-amil berbasis pesantren, komunitas, dan tokoh-tokoh agama.
“Ini inisiasi yang tidak akan mati. Selama umat Islam masih menjalankan ketentuan ajaran agama, maka hukum Islam masih terus hidup dan berlaku di masyarakat, meski tanpa kehadiran negara. Tetapi begitu negara hadir meregulasi, maka ini jauh lebih bagus. Ketika negara turut mewajibkan zakat kepada umat Islam yang wajib zakat, maka kewajibannya akan semakin kokoh,” kata Prof Ni’am dalam Muntada Sanawi IV di Hotel Sahid, Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2024).
Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini menyampaikan, kondisi ini harus terus diupayakan hingga terbangun kesadaran utuh dari masyarakat serta kesadaran ulil amri.
Lebih lanjut, Prof Ni’am menukil pandangan Syekh Asnawawi Al Bantani yang menyebut jika masalah keagamaan diwajibkan oleh aturan agama, maka sekalipun negara tidak hadir, kewajibannya tidak hilang.
Guru Besar Ilmu Fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menegaskan, sekalipun negara hadir, mewajibkan sesuatu yang wajib, maka akan semakin kokoh kewajiban itu.
“Apabila negara hadir mewajibkan kewajiban keagamaan, maka akan semakin kokoh kewajiban itu. Di sinilah cara pandang, yang tidak sekularistik, cara pandang yang bahkan menuju integralistik, setidaknya cara pandang yang mutualistik dimana ada wilatah domain keagamaan dan kenegaraan saling menguatkan satu dengan yang lain,” paparnya.
Prof Ni’am menekankan, spirit keagamaan harus menjadi spirit sinaran yang harus berorientasi kepada kemaslahatan umat dan memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariah.
Ketika undang-undang pengelolaan zakat hadir, memerintahkan pengelolaan zakat oleh negara yang direpresentasikan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Prof Ni’am menyampaikan, pada hakikatnya Baznas sudah bisa hub sehingga, bisa dorong agar Baznas bisa hub, tetapi setelah hub, bisa didistribusikan untuk kemaslahatan.
“Tetapi ada proses kearifan di dalam proses penyusunan peraturan perundang-umdangan. Sebelum hadir negara, ada potensi masyarakat sehingga, undang-undang pengelolaan zakat, mengakomodasi di luar Baznas sebagai otoritas negara yang mengambil zakat, memainkan peran ulil amri,” ungkapnya.
Sehingga, masyarakat yang sudah mengelola zakat, memperoleh rekognisi dari negara sehingga, lembaga amil zakat hadir dan bertemu pada forum Muntada Sanawi IV ini.
Lebih lanjut, untuk memastikan kesesuaian syariah di dalam operasional zakat ini belum ada fasilitas dari negara, maka dalam konteks shadiqul hukumah (mitra pemerintah) dan khidmatul ummah (berkhidmah pada umat), MUI menginisiasi standar syariah pengelolaan zakat melalui fatwa-fatwa keagamaan.
Prof Ni’am menjelaskan, di dalam operasionalnya, ada Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk memberikan jaminan secara syar’i. Oleh karena itu, Prof Ni’am mengingatkan, tugas dari DPS sangat berat karena menjadi penjamin urusan syar’i.
“Sementara urusan zakat urusan mahdhah. Dasar ibadah mahdhah adalah haram, sampai ada dalil yang memperbolehkan. Sementara di dalam pengelolaannya, ada dimensi sosial kemasyarakatannya. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi disatu sisi bagi pengelola dan amil. Di satu sisi yang lain butuh rem kepatuhan dan penyesuaian syariah yang dimainkan oleh DPS,” tegasnya.
Hadir dalam kegiatan ini, antara lain, Wakil Ketua Umum MUI KH Marsudi Syuhud, Wakil Ketua Umum MUI Buya Basri Bermanda, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis, Ketua MUI Bidang Syariah dan Halal KH Sholehuddin Al Aiyub, Ketua Baznas Prof Noor Achmad, Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi KH Abdiullah Jaidi, dan Ketua BPH DSN MUI Prof Hasanudin.
(ameera/arrahmah.id)