BANJUL (Arrahmah.com) – Presiden baru Zambia, yang menguasai negeri mayoritas Muslim di wilayah Afrika Barat, telah secara resmi menghapus “Republik Islam” dari nama negaranya sebagai salah satu dari realisasi janji reformasi yang diusungnya, IBTimes melaporkan pada Senin (30/1/2017).
Adama Barrow dalam konferensi pers pertamanya mengatakan bahwa ia akan merombak lembaga intelijen dan administrasi pemerintahan agar lebih efektif.
“Aturan hukum ini sangat dibutuhkan,” kata Barrow, menambahkan bahwa Zambia, yang dilaporkan CIA World Factbook memiliki 95 persen Muslim dari seluruh populasi, tidak akan lagi menjadi “republik Islam”.
Pada Desember 2015, Presiden despot Yahya Jammeh mendeklarasikan negara Afrika Barat ini republik Islam, yang kedua setelah Mauritania.
“Presiden membenarkan pengumuman ini dengan mengatakan ia telah melanggar masa kolonial Zambia,” laporkan BBC.
“Zambia baru akan dari waktu ke waktu menjadi lebih rentan untuk diradikalisasi karena ini ‘republik Islam’. Jika Zambia tetap seperti ini, maka akan menimbulkan sedikit ketimpangan, kemiskinan, dan kurangnya lapangan pekerjaan,” tambahnya.
Meskipun terdapat perubahan tersebut, sejumlah aktivis dan pro-demokrasi dilaporkan memaksa pemerintah untuk membatalkan perintah eksekutif Januari 2016 yang mewajibkan semua staf pemerintah perempuan untuk menutupi rambut mereka selama jam kerja.
Mantan Presiden Jammeh memicu krisis politik ketika ia menolak untuk turun meski kalah dalam pemilu Desember 2016 setelah memerintah negara itu selama 22 tahun.
“Jammeh menghadapi serangkaian tuduhan pelecehan HAM yang memaksa dia untuk pergi ke pengasingan, sehingga Barrow segera mengambil sumpah dari Senegal,” IBTimes melansir.
Presiden Barrow (51), yang merupakan mantan pengusaha ini, telah berjanji untuk melakukan serangkaian reformasi demokratis.
“Upaya ini akan mewadahi setiap orang, akan ada perombakan total dari sistem,” kata Barrow.
Pada tahun 2013, tekanan dari Barat atas pelanggaran hak asasi manusia mendesak Zambia untuk menarik diri dari Commonwealth, yang terdiri dari 50 negara meliputi Britania Raya dan sebagian besar bekas koloninya.
Isu hak asasi manusia juga memicu keputusan AS untuk menangguhkan partisipasi Zambia dalam Perjanjian Pertumbuhan dan Peluang Afrika (AGOA), dilaporkan BBC. (althaf/arrahmah.com)