KOLOMBO (Arrahmah.id) — Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dilaporkan terbang keluar dari negaranya pada Rabu (13/7/2022) pagi waktu setempat. Dia melarikan diri dengan pesawat militer.
Dilansir AFP (13/7/2022), Rajapaksa melarikan diri dengan istri dan seorang pengawalnya dengan pesawat militer Antonov-32. Pesawat itu lepas landas dari bandara internasional utama menuju Maladewa, menurut sumber imigrasi.
“Paspor mereka dicap dan mereka naik pesawat khusus angkatan udara,” kata seorang pejabat imigrasi yang terlibat dalam proses itu kepada AFP.
Sebelumnya, pemimpin berusia 73 tahun yang pernah dikenal sebagai “The Terminator” itu sempat kesulitan keluar meninggalkan negaranya selama lebih dari 24 jam.
Krisis keuangan yang terjadi di Sri Lanka yang menyebabkan Rajapaksa melarikan diri telah menjalar menjadi krisis multidimensi, menyebabkan kelaparan hingga memicu kerusuhan.
Warga Sri Lanka saat ini menghadapi kekurangan pangan, obat-obatan, hingga BBM karena kehabisan cadangan devisa. Harga barang kebutuhan sehari-hari melonjak tajam, dengan inflasi mencapai lebih dari 50%.
Pemadaman listrik semakin meluas dan layanan penting seperti bus, kereta api dan kendaraan medis tak memiliki bahan bakar yang cukup.
Pemerintah Sri Lanka telah melarang penjualan bensin dan solar untuk kendaraan yang tidak penting selama dua minggu.
Sekolah pun ditutup dan orang-orang telah diminta untuk bekerja dari rumah untuk membantu menghemat persediaan.
Sistem kesehatan Sri Lanka bahkan berada di ambang kehancuran akibat kekurangan obat-obatan dan peralatan medis.
Krisis di Sri Lanka memang dipicu oleh pandemi Covid-19 yang menghantam sektor pariwisata, sumber utama perekonomian negara tersebut.
Profesor Mick Moore dari University of Sussex dan mantan konsultan di Sri Lanka untuk Asian Development Bank juga menilai, krisis yang dihadapi Sri Lanka bukan hanya dampak dari masalah ekonomi global tetapi diciptakan oleh pemerintah sebelumnya.
Ia menjelaskan, pemerintahan telah meminjam uang dalam jumlah besar untuk proyek-proyek infrastruktur dan memaksakan diri untuk membayar utang yang menumpuk daripada merestrukturisasinya dengan kreditur.
“Ini adalah inkompetensi yang mengerikan dan kini Sri Lanka menghadapi situasi yang sangat kritis,” ujarnya (22/5) dalam acara BBC Today.
Cina saat ini dituduh sebagai salah satu dalang krisis di Sri Lanka. Negara ekonomi terbesar kedua dunia ini adalah salah satu negara kreditur terbesar Sri Lanka.
Dalam satu dekade terakhir, Cina telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari US$5 miliar untuk proyek-proyek termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Kantor berita Cina, Xinhua membantah tudingan media barat yang menyebutkan bahwa Sri Lanka terperangkap dalam jebatan utang Cina.
Goonetilleke, mantan duta besar Sri Lanka untuk Cina, mengatakan masalah negara itu terjadi karena Sri Lanka hidup di luar kemampuannya, dengan menjembatani defisit anggaran dengan pinjaman eksternal selama dua dekade terakhir.
Selain utang, krisis di Sri Lanka juga terjadi karena defisit perdagangan yang terjadi selama bertahun-tahun. Sri Lanka mengimpor US$ 3 miliar lebih besar dibandingkan ekspornya setiap tahun dan menyebabkan negara ini kehabisan mata uang asing.
Hal ini antara lain dipicu oleh langkah Sri Lanka yang memilih untuk fokus pada penyediaan barang ke pasar domestik daripada mencoba untuk meningkatkan perdagangan luar negeri.
Defisit perdagangan Sri Lanka selama ini berhasil ditutupi oleh devisa dari sektor pariwisata. Masalah pun timbul saat pariwisata terpukul oleh pandemi. Cadangan devisa Sri Lanka yang mencapai US$7,6 miliar pada akhir 2019, kini hanya tersisa US$ 250 juta. (hanoum/arrahmah.id)