SANA’A (Arrahmah.com) – Presiden boneka Yaman, Ali Abdullah Saleh, mengalami luka bakar cukup parah setelah serangan terhadap kamp istana kepresidenan beberapa waktu lalu. Dalam siaran pertamanya, wajahnya terlihat mengalami luka bakar dan tangannya masih dibalut perban. Ini adalah siaran pertamanya sejak ia terluka dalam serangan bom tersebut.
Saleh, yang dirawat di Arab Saudi setelah serangan 3 Juni lalu, mengatakan ia telah melewati “lebih dari delapan operasi sukses” dan menyerukan dialog dalam pidato yang disiarkan televisi Yaman pada Kamis (7/7/2011).
Dalam pidato singkatnya, yang direkam di Arab Saudi, ia mengatakan orang-orang yang telah berusaha untuk mengusirnya dari kekuasaan, memiliki “pemahaman yang salah dari demokrasi”.
Lebih dari empat bulan protes massa terjadi di Yaman untuk menekan Saleh agar mundur dari jabatannya, peristiwa ini mengguncang negara semenanjung Arab tersebut.
Saleh mengatakan ia menyambut pembagian kekuasaan asalkan itu dalam kerangka konstitusional negara.
Televisi negara memperlihatkan tembakan kembang api ke atas langit ibukota di akhir pidato Saleh sebagai bentuk dukungan perayaan atas kesembuhan Saleh.
“Di mana orang-orang yang takut tuhan? Mengapa mereka tidak berdiri dengan dialog dan mencapai solusi yang memuaskan?” tanya Saleh dalam pidatonya.
Dia juga mengucapkan terima kasih kepada Abdrabbu Mansour Hadi, wakilnya, yang telah menggantikan posisinya selama Saleh tidak berada di Yaman.
Ameen Al Himyari, seorang professor di Universitas Qatar mengatakan kepada Al Jazeera bahwa AS tidak memberikan tekanan yang cukup besar kepada Saleh untuk mundur.
“Mendukung rezim korup akan menciptakan banyak masalah,” ujarnya.
Reporter Al Jazeera yang melaporkan secara intensif dari Yaman menyatakan para pendemo menonton pesan tersebut secara seksama dan mencoba mencari tahu apakah Saleh akan mundur dan menjadi semacam transisi kekuasaan.
Mereka telah menunggu selama berminggu-minggu sejak serangan terjadi untuk pidato tersebut. Namun para pendemo menyatakan kekecewaannya karena ia tetap mempertahankan kekuasaan dan tidak ingin mengakhiri konflik. (haninmazaya/arrahmah.com)