JAKARTA (Arrahmah.com) – Upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan konflik muslim Rohingya dengan cara menyurati Presiden Myanmar Thein Sein, dinilai tidak cukup. Presiden diminta segera mengambil peran signifikan demi menegakkan amanat Undang-undang Dasar 1945 yakni menjaga ketertiban dunia.
“Sudah sepatutnya, sebagai negara besar, Indonesia maju memimpin gerakan penyelamatan kemanusiaan dan penegakan hak azasi manusia di wilayah ASEAN maupun dunia pada umumnya. Indonesia bangsa cinta damai, bangsa besar dengan sumberdaya luar biasa. Negeri kita juga menjadi tumpuan harapan bangsa Indonesia maupun bangsa-bangsa di sekitarnya. Sikap kepemimpinan, sepantasnya hadir dalam tindakan konkret. ACT tidak hanya menunggu upaya nyata itu, melainkan sudah berikhtiar sesuai kemampuan, untuk menggalang kepedulian nasional dan global,” ujar Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin dalam rilisnya dikutip detikcom, Senin (6/8).
ACT menerima dukungan masif publik Indonesia untuk bergabung dalam Jaringan Posko Kemanusiaan membantu Rohingya. Dukungan itu, hingga kini terus mengalir.
“Tentu kami menyeleksi lembaga dan pihak-pihak mana yang kami terima untuk membantu Muslim Rohingya yang teraniaya. Harap jangan keliru, kapasitas ACT itu di ranah kemanusiaan. Maka kami hanya bisa mengajak aksi kemanusiaan, mengimbau dan sedapat mungkin menolong korban yang selamat, baik yang masuk ke negeri kita maupun yang mencari pertolongan di negeri-negeri lain seperti Bangladesh, Malaysia, dan lainnya,” imbuhnya.
ACT dengan lini program khusus ke Rohingya dengan nama Sympathy of Solidarity (SOS) Rohingya, tidak sekadar bergerak di fase darurat. Begitu fase darurat terjabar dengan baik di lapangan, ACT teruskan sampai fase pemulihan sosial-ekonomi.
“Tapi kami melihat, fase darurat saja, perlu dukungan besar dari bangsa-bangsa humanis di dunia ini. Kami merasa bangga, Indonesia sudah maju dan memimpin, karena secara formal pun kepemimpinan di regional ASEAN juga sangat terpengaruh sikap Indonesia,” ungkapnya.
Menilik pengalaman menangani kawasan konflik serupa di Indonesia, seperti Maluku Tenggara, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, yang menyebabkan korban jiwa dan luka serta kerusakan fisik yang parah, ACT mendorong elemen kemanusiaan dunia, sekaligus menitipkan gagasan ini sebagai bagian sikap Indonesia.
“Pertama. Lakukan segera pencegahan jatuhnya korban lanjutan akibat ketiadaan penghentian kekerasan dan sanksi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih. Tidak bisa dipungkiri, terjadi pelanggaran berat HAM dengan fakta puluhan ribu orang lari menyelamatkan diri dari sebuah negara dalam kurun yang panjang, lebih satu dasawarsa terakhir. Dan ribuan menjadi korban kekerasan di dalam negeri Myanmar sendiri,” tegas Ahyudin.
Kedua, lanjut Ahyudin, lakukan segera penanganan korban selamat di pengungsian. Mereka mungkin selamat dari kekerasan, tetapi akhirnya tewas karena penyakit, kurang gizi, kurang pangan dan hidup di kawasan tak layak huni. Untuk itu, dunia internasional saatnya memaksa Myanmar membuka akses masuknya lembaga-lembaga kemanusiaan untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan.
“Ketiga, bagi negara-negara yang menjadi sasaran pencarian suaka, sedapat mungkin melanjutkan peran kemanusiaannya dan bergandengan tangan dengan elemen kemanusiaan lintas bangsa untuk menolong Muslim Rohingya. Bagaimana pun, menolong siapapun yang mencari keselamatan, dan membuka diri dalam upaya itu, sebuah kerja mulia yang akan mengundang kepedulian global pula. Indonesia, bisa memastikan diri, akan bergandeng-tangan bersama elemen kemanusiaan manapun dalam proses ini,” paparnya.
Keempat, jika dalam perkembangannya, Myanmar bersikukuh menolak keberadaan etnik Muslim Rohingya sebagai bagian Myanmar, sementara fakta sejarahnya, Muslim Rohingya pernah menjadi negeri merdeka, demi kemanusiaan, pisahkan secara resmi dan tegakkan Wilayah Historis Arakan sebagai Negeri bagi Muslim Rohingya. Melawan akal sehat, jika hanya memilih fakta sejarah tertentu sebagai dalih menolak etnik Muslim Rohingya di Myanmar, dan mengabaikan fakta sejarah yang lain.
“Biarkan, Muslim Rohingya secara transisional menjadi bangsa merdeka, jangan hanya menolak Muslim Rohingya, tapi menguasai wilayah historisnya. Kebersamaan bangsa-bangsa yang berdaulat dan humanis, pasti bisa membantu mewujudkan itu. Bukan pilihan bijaksana, membiarkan sebuah etnik secara masif terlunta-lunta tanpa kewarganegaraan dan tertolak di mana-mana dalam waktu yang sangat lama,” tuturnya.
“Kelima, Indonesia, sebagai negeri nan luas dan bangsa cinta damai, pasti sanggup menerima kehadiran etnik Rohingya. Memberi kesempatan mereka hidup manusiawi di Indonesia, dikenang dunia sebagai sebuah sikap bangsa besar. Indonesia tidak lebih kecil dan lebih melarat dibanding negeri lainnya, dan rasanya tidak elok membiarkan mereka tak jelas nasibnya setelah masuk Indonesia, atau enggan menerima permintaan suaka mereka. Semoga pertolongan kita kepada sesama manusia, menjadi sebab curahan rahmat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, seperti ketika Sang Maha Kuasa memberikan bangsa Indonesia Kemerdekaan, bebas dari penjajahan,” tutupnya. (bilal/arrahmah.com)