KAIRO (Arrahmah.id) — Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Senin (30/10/2023), menyatakan dengan tegas, warga Palestina di Gaza tidak boleh dipindahkan ke Mesir atau negara-negara lainnya.
Dilansir Bloomberg (30/10/2023), Biden dan El-Sisi secara resmi menyatakan pandangan mereka tentang situasi yang semakin genting di Gaza, wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak 1967 dan diblokade sejak 2007.
Dalam pernyataan bersama, Biden dan El-Sisi menguatkan “komitmen mereka untuk bekerja bersama dan membahas pentingnya melindungi nyawa warga sipil, menghormati hukum kemanusiaan internasional, dan memastikan warga Palestina di Gaza tidak dipindahkan ke Mesir atau negara lain.”
Pernyataan itu diunggah Biden di platform media sosial X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter).
Meskipun Mesir satu-satunya negara yang punya gerbang perbatasan dengan Gaza selain Israel, Presiden El-Sisi secara tegas menolak gagasan warga Gaza diperbolehkan melintasi perbatasan ke Semenanjung Sinai, walau hanya sementara.
Kesepakatan ini menggarisbawahi keinginan kedua pemimpin agar warga Gaza tetap di negara mereka, tanpa perlu mencari perlindungan ke negara tetangga.
Di sisi lain, situasi di Gaza semakin rumit. Israel terus meningkatkan operasi militer di Gaza, yang memaksa banyak warga sipil mengungsi untuk menyelamatkan diri.
Banyak negara lain termasuk organisasi internasional juga menolak kemungkinan pemindahan warga Gaza, dengan menekankan pentingnya mencapai perdamaian yang berkelanjutan berdasarkan solusi dua negara.
Presiden El-Sisi dalam pernyataannya yang dirilis oleh kantor kepresidenan Mesir, Ahad (29/10), menyatakan, “Mesir tidak akan mengizinkan pemindahan warga Palestina dari Gaza ke wilayah Mesir.”
Hal itu dinilai sebagai langkah tegas Mesir untuk menjaga integritas wilayahnya, sambil mencari solusi damai untuk krisis ini.
Meskipun upaya bantuan kemanusiaan sudah meluncur, hanya sebagian kecil bantuan yang melewati pintu perbatasan Rafah menuju Gaza yang dihuni sekitar 2,3 juta orang.
Mesir menyalahkan Israel karena menghambat masuknya bantuan tersebut.
PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya memperingatkan bahaya bencana kemanusiaan yang semakin memburuk di wilayah tersebut akibat pengepungan Israel.
Pada 24 Oktober, PBB memperkirakan lebih dari 1,4 juta orang di Gaza menjadi pengungsi internal, menunjukkan eskalasi krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Dengan korban yang terus bertambah, PBB mencatat jumlah kematian warga Palestina akibat serangan Israel, tercatat sudah mencapai 8.306 jiwa yang sebagian besar anak-anak dan perempuan.
Sementara di Tepi Barat, wilayah Palestina lainnya yang diduduki Israel sejak 1967, lebih dari 110 warga Palestina tewas dalam kekerasan dan serangan Israel.
Di sisi lain, lebih dari 1.500 orang di Israel telah tewas, sebagian besar di antaranya adalah warga sipil yang dilaporkan menjadi korban serangan kelompok perlawanan Palestina Hamas pada 7 Oktober.
Hamas juga mengambil 239 orang dari Israel dan membawanya ke Gaza, yang disebutnya akan digunakan dalam pertukaran tahanan.
Dilansir Al Jazeera, saat ini sekitar 6.600 warga Palestina ditahan di penjara-penjara Israel menurut data Masyarakat Tahanan Palestina.
Sebelum siklus kekerasan terbaru terjadi, Israel telah menahan lebih dari 5.000 orang Palestina. Sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu, Israel menahan setidaknya 1.590 orang lainnya.
Di antara 6.600 yang ditahan itu, 73 orang adalah wanita, 327 anak-anak (termasuk dua balita yang ikut ibu mereka di penjara), 15 wartawan.
Kemudian ada 1.800 orang yang ditahan tanpa dakwaaan di bawah apa yang disebut oleh Israel sebagai “penahanan administratif” (pada 2022, jumlahnya 860 orang). (hanoum/arrahmah.id)