MALI (Arrahmah.com) – Untuk pertama kalinya, Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita mengakui adanya kontak dengan gerilyawan jihad, opsi yang sudah lama ditolak oleh pemerintah.
“Jumlah korban jiwa di Sahel yang terus meningkat menjadi alasan untuk mengambil langkah baru, membuka komunikasi dengan pihak oposisi,” kata Keita dalam wawancara dengan kantor berita milik Prancis pada Senin (10/2/2020), sebagaimana dilansir AFP.
Mali menjadi saksi perlawanan kelompok jihadis sejak tahun 2012, di mana ribuan nyawa baik dari pihak militer maupun sipil telah terenggut sejak perlawanan dimulai.
Tetapi dialog dengan para pemimpin jihadis seperti Amadou Koufa dan Iyad Ag Ghali telah lama diacuhkan oleh pemerintah di Bamako.
Namun dalam wawancara itu, Keita tampaknya telah bertekad untuk mengubah arah penolakan masa lalu untuk melibatkan para jihadis dengan membuka dialog komunikasi dengan mereka.
“Kami siap membangun jembatan untuk dialog dengan semua orang … Pada titik tertentu, kami harus duduk mengelilingi meja dan berbicara,” katanya.
Dia mengatakan dia telah mengirim mantan presiden Dioncounda Traore “dalam sebuah misi.”
“Dia adalah perwakilan tinggi saya, jadi tugasnya adalah mendengarkan semua orang,” kata presiden.
Traore terutama ditugaskan untuk melihat apakah ada orang yang bisa memahami “wacana ini”.
Konferensi nasional yang diadakan pada tahun 2017 mempertemukan partai Keita dan partai-partai oposisi mendesak diadakannya pembicaraan langsung dengan para jihadis sebagai cara untuk menyelesaikan krisis di Mali. Namun, pemerintah tidak pernah menindaklanjuti rekomendasi tersebut. (rafa/arrahmah.com)