JAKARTA (Arrahmah.id) – Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menderita batuk. Menurut laporan, sang presiden menderita batuk selama sebulan terakhir, yang mungkin tidak mengejutkan penduduk ibu kota Jakarta yang kualitas udaranya termasuk yang terburuk di dunia dan di mana Jokowi diperintahkan oleh pengadilan untuk membersihkannya.
“Beliau sudah batuk selama hampir empat minggu dan mengatakan bahwa beliau tidak pernah merasa seperti ini,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Sandiaga Uno setelah rapat kabinet di Jakarta pekan ini, lansir Al Jazeera (18/8/2023).
Para dokter sedang mendiagnosa penyebab batuk presiden, kata Sandiaga, dan menambahkan bahwa hal ini mungkin berkaitan dengan kualitas udara yang memburuk, yang diminta Jokowi untuk diatasi “dalam waktu satu pekan”.
Batuk dan pernyataan Sandiaga Uno tersebut muncul ketika kualitas udara di ibu kota Indonesia terus merosot dalam beberapa pekan terakhir, membuat perusahaan teknologi kualitas udara asal Swiss, IQAir, merilis data yang menunjukkan bahwa Jakarta memiliki polusi udara terburuk di dunia.
Bahkan sebelum data yang baru dirilis tersebut, berbagai penelitian telah secara konsisten menemukan bahwa Jakarta merupakan salah satu tempat paling tercemar di dunia karena berbagai faktor, termasuk emisi gas buang kendaraan, proyek-proyek konstruksi, pembakaran biomassa dan bahan bakar lainnya, termasuk batu bara, dan pelepasan aerosol.
Sebagian dari masalah polusi udara di Jakarta juga disebabkan oleh pabrik-pabrik dan industri di daerah sekitarnya yang mengeluarkan kabut asap busuk yang mengepul ke seluruh penjuru ibu kota.
Jika batuk yang diderita presiden memang disebabkan oleh polusi udara, para kritikus akan mengatakan bahwa hal itu adalah konsekuensi dari kelambanannya sendiri.
Jokowi kalah dalam sebuah “gugatan warga negara” pada 2021 yang diajukan oleh 32 penggugat sebagai tanggapan atas memburuknya kualitas udara di ibu kota.
Tiga hakim yang memimpin kasus tersebut -di mana Jokowi dan tiga menteri serta tiga gubernur provinsi ditetapkan sebagai terdakwa- memutuskan bahwa mereka bertanggung jawab atas polusi udara di Jakarta. Gubernur dari provinsi tetangga, Jawa Barat dan Banten, telah gagal dalam tugas mereka untuk mengatur polusi di daerah mereka, yang telah mempengaruhi ibu kota, demikian keputusan para hakim.
Para tergugat telah “melakukan tindakan yang melanggar hukum dengan tidak mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan polusi udara di Jakarta”, kata para hakim pada saat itu, dan memerintahkan presiden dan para pejabatnya untuk meningkatkan kualitas udara di ibu kota dan juga merevisi peraturan pemerintah tentang polusi udara.
Gubernur Jakarta saat itu, Anies Baswedan, mengatakan bahwa ia tidak akan mengajukan banding atas putusan tersebut dan bahwa pemerintahannya “siap untuk melaksanakan keputusan pengadilan untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta”.
Jokowi dan para menterinya mengajukan banding atas putusan tersebut, namun kalah lagi pada 2022, sebelum mengajukan banding lagi pada 2023. Putusan akhir tersebut masih tertunda.
“Sangat menyedihkan, bukan, bahwa pemerintah baru mulai bergerak dan terlihat sibuk setelah Presiden terbatuk-batuk selama sebulan?” kata Elisa Sutanudjaja, salah satu penggugat dalam “gugatan warga negara”.
“Mereka telah menyangkal selama dua tahun dan terus mengajukan banding setiap kali mereka kalah di pengadilan,” kata Sutanudjaja, yang mulai prihatin dengan polusi di ibu kota saat ia hamil.
Sutanudjaja mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ia tidak tergerak oleh kesibukan yang tiba-tiba, seputar kualitas udara pada rapat kabinet pada Senin, mencatat bahwa kasus warga untuk menghentikan polusi udara telah berlangsung selama bertahun-tahun karena banding dari pemerintah.
“Berapa banyak orang yang jatuh sakit dan meninggal karena polusi selama dua tahun penolakan tersebut?” tanyanya.
Kementerian Kesehatan Indonesia mengakui bahwa ada 600.000 penduduk Jakarta yang menderita infeksi saluran pernapasan atas per Agustus tahun ini, Bondan Andriyanu, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Ini adalah keadaan darurat dan perlu ditangani dengan segera,” ujar Andriyanu mengenai krisis polusi udara.
“Seharusnya hal ini tidak perlu menjadi viral di dunia maya dan baru kemudian ditangani.”
Sebagai bagian dari rapat kabinet pada Senin, Jokowi dilaporkan menginstruksikan para menterinya untuk menciptakan lebih banyak ruang hijau di kota dan mendorong kantor-kantor untuk menerapkan kondisi kerja hibrida, yang dianggap sebagai tindakan setengah-setengah yang telah membuat marah para aktivis dan penggugat yang terlibat dalam gugatan warga negara.
“Saya jengkel melihat pemerintah pusat hanya bisa melempar tanggung jawab kepada warga dan berharap warga menggunakan transportasi umum, padahal sistem transportasi umum sangat buruk,” kata Sutanudjaja.
“Mereka juga terkesan mengabaikan keberadaan industri dan pembangkit listrik dan hanya menyalahkan warga atas polusi yang terjadi,” katanya.
Pada Rabu (16/8), menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia, Koalisi Inisiatif Udara Bersih Jakarta, sebuah kelompok yang terdiri dari para penggugat dan pendukung udara bersih lainnya, melakukan protes di ibu kota atas polusi tersebut.
“Di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-78 ini, saya merasa kemerdekaan bangsa Indonesia telah dirampas oleh para penyelenggara negara yang seharusnya dapat menyelesaikan masalah polusi udara,” ujar Istu Prayogi, salah satu penggugat dalam gugatan warga negara yang pernah tinggal di Jakarta pada tahun 1990-an dan didiagnosis menderita flek di paru-parunya.
Sementara para kritikus mengatakan bahwa pemerintah telah gagal menerapkan solusi anti-polusi yang praktis di Jakarta, kini ada rencana besar untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke lokasi baru yang bebas kabut asap, sekitar 1.200 km (745 mil) jauhnya di Kalimantan Timur, di bagian timur pulau Kalimantan.
Rencana ini pertama kali diumumkan sehari sebelum Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-74 pada 2019, selama pidato tahunan Jokowi kepada bangsa Indonesia, dan telah lama disebut-sebut sebagai solusi untuk berbagai masalah di Jakarta yang, selain udara yang mencekik, termasuk kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk, dan pengambilan air tanah yang tidak diatur yang menyebabkan ibu kota ini tenggelam.
Menurut rencana tersebut, yang diproyeksikan akan menelan biaya lebih dari $32 milyar, 1,5 juta dari 11 juta penduduk Jakarta akan pindah ke hutan rimba Kalimantan, di mana udaranya akan lebih segar dan tidak ada yang terserang batuk akibat polusi.
Sutanudjaja, penggugat dalam gugatan warga negara, mengatakan bahwa ia merasa skeptis dan menyebut rencana pemindahan ibu kota sebagai “alasan”.
“Mereka hanya memindahkan masalah,” katanya. (haninmazaya/arrahmah.id)