CAPE TOWN (Arrahmah.id) – Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, mengomentari kasus genosida yang mereka ajukan terhadap “Israel” di Mahkamah Internasional (ICJ), dengan menyatakan: “Saya tidak pernah merasa sebangga yang saya rasakan hari ini ketika tim hukum kami memperjuangkan kasus kami di Den Haag.”
Dalam pidatonya di hadapan Liga Perempuan dari partai Kongres Nasional Afrika (ANC) yang berkuasa, Ramaphosa mengatakan bahwa tujuan negaranya mengajukan gugatan terhadap Israel di ICJ adalah untuk menghentikan genosida di Jalur Gaza, lansir MEMO (13/1/2024).
Ramaphosa menambahkan: “Ketika pengacara kami membela kasus kami di Den Haag, ketika saya melihat Ronald Lamola, seorang putra negeri ini, mempresentasikan kasus kami di pengadilan, saya tidak pernah merasa sebangga hari ini.”
Mengenai apa yang mungkin akan dialami negaranya karena kasus ini, Presiden Ramaphosa menjelaskan: “Beberapa orang mengatakan bahwa langkah yang kami ambil ini berisiko. Kami adalah negara kecil, dan kami memiliki ekonomi yang kecil. Mereka dapat menyerang kami, tetapi kami akan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kami. Seperti yang diajarkan oleh bapak demokrasi kita, kita tidak akan benar-benar merdeka sampai rakyat Palestina merdeka.”
ICJ mendengarkan argumen Afrika Selatan pada Kamis dan tanggapan “Israel” pada Jumat.
Pada 29 Desember, Afrika Selatan mengajukan gugatan setebal 84 halaman, yang menyajikan bukti-bukti bahwa “Israel” -sebagai negara pendudukan- telah melanggar kewajibannya di bawah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan keterlibatannya dalam melakukan tindakan genosida terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Pada hari ke-100, penjajah “Israel” melanjutkan agresi genosida terhadap Jalur Gaza, dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa, dengan pesawat-pesawatnya mengebom rumah sakit, gedung, menara dan rumah-rumah warga sipil Palestina, menghancurkannya di atas kepala para penghuninya.
Penjajahan ini juga mencegah masuknya air, makanan, obat-obatan dan bahan bakar, yang menyebabkan kematian 23.469 syuhada dan 60.005 orang terluka, yang sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak. Hal ini juga menyebabkan kehancuran besar-besaran pada infrastruktur dan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza dan organisasi serta badan-badan internasional. (haninmazaya/arrahmah.id)