PARIS (Arrahmah.com) – Prancis akan memeriksa 76 masjid dalam beberapa hari mendatang dalam operasi besar-besaran, yang belum pernah terjadi sebelumnya, melawan apa yang disebut separatisme, kata menteri dalam negeri negara itu pada Rabu (2/12/2020).
Gerald Darmanin mengatakan layanan negara akan memantau dan mengendalikan 76 tempat ibadah Muslim, 16 di wilayah Paris dan 60 di bagian lain negara itu, menambahkan bahwa beberapa masjid mungkin akan ditutup.
“Tindakan segera” akan diambil terhadap 18 masjid atas permintaan Darmanin.
Menurut surat kabar Le Figaro, Darmanin telah mengirim surat edaran kepada gubernur negara itu tentang pemeriksaan masjid.
Pemicu serangkaian tindakan keras terhadap Muslim Prancis adalah karena terbunuhnya Samuel Paty, seorang guru yang menunjukkan karikatur Nabi di dalam kelasnya saat menjelaskan tentang kebebasan berbicara.
Tidak terima dengan tindakan Paty yang dinilai telah melecehkan Nabi Muhammad, seorang pemuda asal Chechnya kemudian membunuh guru tersebut. Pemuda itu akhirnya ditembak mati oleh polisi.
Darmanin mengatakan pada 3 November bahwa 43 masjid telah ditutup dalam tiga tahun terakhir sejak Presiden Emmanuel Macron menjabat.
Dalam pernyataan lain pada 20 November, menteri dalam negeri menyatakan bahwa keluarga asing yang keberatan dengan karikatur Nabi Muhammad yang ditampilkan di sekolah dapat menghadapi deportasi.
Berbicara kepada Radio French Europe 1, Darmanin mengatakan karikatur provokatif dilindungi di bawah kebebasan berbicara dan mereka yang meminta guru untuk tidak menunjukkan gambar tersebut akan dituntut.
Dia menambahkan bahwa keluarga asing harus memperhatikan karena mereka dapat menghadapi deportasi selama penuntutan karena dianggap melakukan “kejahatan”.
Prancis menjadi tempat tinggal bagi populasi Muslim terbesar di Eropa, dan Islam adalah agama terbesar kedua yang dipraktikkan di negara itu setelah Katolik.
Komunitas internasional dikejutkan oleh penikaman dua orang di luar bekas kantor Charlie Hebdo pada bulan September, pemenggalan kepala Paty pada 16 Oktober, dan pembunuhan brutal tiga orang di dalam Basilika Notre Dame Nice pada 29 Oktober. Serangan tersebut mendorong pejabat Prancis untuk mencari kambing hitam, dan komunitas Muslim menjadi sasaran.
Sementara negara itu dengan gigih membela karikatur provokatif anti-Muslim dengan dalih kebebasan berbicara, banyak agensi, surat kabar dan majalah telah menghapus artikel dan mengubah isinya atas perintah pemerintah Prancis.
Sejak awal November, pemerintah Prancis telah berhasil masuk dan memengaruhi empat outlet berita terkemuka, termasuk Financial Times, Politico, Le Monde, dan Associated Press.
Bulan lalu, Macron mengatakan dia tidak akan mencegah penerbitan kartun dengan dalih kebebasan berbicara, yang memicu kemarahan di kalangan dunia Muslim. Sedangkan Muslim Prancis menuduhnya berusaha menekan agama mereka dan melegitimasi Islamofobia.
Beberapa negara mayoritas Muslim, termasuk Turki dan Pakistan, telah mengutuk sikap Macron terhadap Muslim dan Islam, dengan Presiden Recep Tayyip Erdoğan mengatakan pemimpin Prancis itu membutuhkan “pemeriksaan kesehatan mental.”
Berbagai protes dan boikot terhadap produk Prancis telah terjadi di seluruh dunia akibat pernyataan anti-Muslim Macron. Protes terbesar terjadi di Dhaka bulan lalu. Sekitar 10.000 orang di Bangladesh berunjuk rasa di ibu kota negara Asia Selatan itu untuk memprotes presiden Prancis dan dukungan kuatnya terhadap undang-undang sekuler yang menganggap karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad dapat diterima.
Ribuan pengunjuk rasa membawa spanduk dan plakat bertuliskan “semua Muslim di dunia, bersatu” dan “Boikot Prancis” ketika mereka melancarkan pawai menuju Kedutaan Besar Prancis di Dhaka agar keberatan mereka tentang pernyataan itu diketahui, menyerukan orang-orang untuk memboikot produk Prancis .
Menurut data yang dikumpulkan oleh Anadolu Agency, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim memainkan peran penting dalam perdagangan luar negeri Prancis. Prancis dikatakan telah melakukan ekspor senilai $ 45,8 miliar ke negara-negara Islam pada 2019, dengan impornya dari negara-negara ini mencapai $ 58 miliar.
Ketua Konfederasi Islamique Milli Gorus Prancis (CIMG), Fatih Sarıkır, mengatakan bahwa mengaitkan serangan teroris dengan Islam telah menyebabkan penderitaan besar bagi umat Islam di Prancis.
“Kesedihan terbesar bagi Muslim di Prancis adalah dikaitkan dengan serangan teroris yang ganas ini. Mereka mencoba mengungkapkan bahwa serangan ini tidak ada hubungannya dengan masyarakat yang bukan Muslim dan tidak mengenal Muslim dengan baik,” kata Sarıkır sebagaimana dilansir oleh Anadolu Agency.
Sarıkır juga menyalahkan media dan partai politik sayap kanan karena memicu sentimen anti-Islam di negara tersebut.
Para kritikus mengatakan bahwa pemerintah Macron mengeksploitasi serentetan kekerasan untuk meningkatkan sikap anti-Muslimnya yang kontroversial. (rafa/arrahmah.com)