JAKARTA (Arrahmah.com) – Praktisi investasi, Head of Sales RHB Asset Management, Edward Narodo meragukan kemampuan pemerintah mencapai target perolehan Rp165 triliun sampai Maret 2017 pada kebijakan pengampunan pajak.
“Tiga bulan pertama itu harusnya sudah mencapai setengah, Rp165 triliun itu berarti Rp80 triliun, kalau kita bagi tiga bulan, kurang lebih hampir Rp30 triliun per bulannya, artinya Rp1 triliun sehari, ini tiga hari saja Rp8 miliar,” kata Edward memberi perbandingan, dikutip dari bbcindonesia, Selasa (26/7/2016).
Diketahui, pemerintah melalui Humas Dirjen Pajak Kementerian Keuangan menyatakan bahwa sampai Jumat (22/7) akhir pekan lalu, tercatat ada 40 lebih peserta yang ingin mendapat pengampunan pajak, dengan pemasukan sudah mencapai Rp8 miliar.
Edward mengungkapkan , salah satu faktor yang menyulitkan penerapan UU Pengampunan Pajak, menurut Edward, adalah jenis kasus di lapangan yang lebih banyak dan rumit penghitungannya sehingga “menimbulkan kebingungan”.
“Pemerintah juga mungkin kekurangan tenaga untuk melakukan sosialisasi. Memang ada banyak konsultan pajak yang membahas di surat kabar, melakukan seminar tentang tax amnesty tapi di lapangan jenis kasusnya lebih banyak, apalagi tak semua orang punya kemampuan untuk menginterpretasi undang-undang atau peraturan menteri keuangan yang baru keluar,” katanya.
Selain persoalan teknis, Edward juga menganggap akan sulit bagi pemerintah untuk menyasar dana besar di luar negeri untuk dibawa pulang dan diinvestasikan di Indonesia.
“Dana yang di luar negeri ini juga bukan berarti dana tidur, ini sudah terkonversi kepada aset-aset yang lebih produktif. Bisa dibilang, mau repatriasi pun insentifnya sangat kecil, karena begitu di Indonesia pilihannya juga tak banyak, dibandingkan dananya ditempatkan di Singapura, Filipina, atau mungkin Malaysia,” tambahnya.
Edward memperkirakan dana yang terkumpul dari UU Pengampunan Pajak akan mencapai “maksimal Rp100 triliun”.
Sejak diberlakukan 1 Juli lalu, Undang-undang Pengampunan Pajak masih mendapat tentangan sejumlah kalangan, salah satunya lewat pendaftaran gugatan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada pertengahan Juli lalu karena diduga undang-undang ini bisa melemahkan upaya penegakan hukum para pengemplang pajak.
(azm/arrahmah.com)