Oleh Ine Wulansari
Ibu Rumah Tangga
Pelaksanaan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) diwarnai sejumlah keluhan dan kritikan. Pasalnya, berbagai modus dilakukan agar calon siswa dapat diterima di sekolah favorit melalui jalur zonasi. Salah satunya diungkap Wali Kota Bogor, Bima Arya yang melakukan sidak dan menemukan banyak kartu keluarga palsu yang digunakan untuk memenuhi syarat sistem zonasi. Kasus serupa juga ditemukan di Bekasi. Pelaksana tugas Wali Kota Bekasi, Tri Ardhianto menduga pelanggaran proses PPDB banyak terjadi di sekolah unggulan. Menurutnya, pelanggaran tersebut terjadi di jalur zonasi, di mana ditemukan satu nama siswa yang terdaftar berkali-kali, dengan alamat yang berbeda-beda.
Kecurangan yang sama pun ditemukan di Pekanbaru, di mana calon siswa atau orangtua siswa menggunakan KK palsu. Hal tersebut diketahui setelah ditemukan keanehan dalam KK yang terlihat seperti editan. Dugaan kecurangan PPDB 2023 di Indonesia yang pertama adalah adanya praktik jual beli kursi di Karawang. Seorang warga Kecamatan Karawang Timur mengungkapkan adanya kegiatan transaksional saat PPDB SMP jalur zonasi. Ia mengaku harus mengeluarkan uang sekitar tiga juta supaya anaknya diterima di SMP Negeri di wilayah Karawang Barat.
Indikasi jual beli kursi ini juga ditemukan di Bengkulu dalam proses PPDB 2023. Menurut Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), dugaan kecurangan ini dilakukan oleh sejumlah guru. Sementara di Kepulauan Riau, ada oknum pejabat yang menitipkan calon siswa ke SMA tertentu. Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf mengatakan, sistem zonasi dalam PPDB seharusnya dapat menghilangkan label sekolah favorit. Akan tetapi, dari beberapa kasus pemalsuan KK dan surat administrasi yang terjadi di beberapa daerah membuktikan bahwa PPDB belum berhasil melakukan pemerataan. (tekno.tempo.co, 13 Juli 2023)
Paradigma Pendidikan Kapitalisme
Pada awalnya kebijakan zonasi bertujuan baik, yakni meratakan pendidikan di seluruh wilayah. Tak dimungkiri paradigma masyarakat masih beranggapan bahwa jika masuk sekolah unggulan, maka dapat dipastikan akan mendapat sarana dan pengajaran yang berkualitas. Seakan-akan antara sekolah unggulan dan biasa ada jurang pemisah yang dinilai sebagai sekolahnya anak pintar dan tidak pintar. Oleh karena itu dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan mampu menghapus pandangan yang kadung berkelindan di benak masyarakat.
Akan tetapi, dengan adanya kecurangan dalam sistem PPDB khususnya sistem zonasi, sejatinya belum mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan di negeri ini. Ditambah lagi biaya pendidikan yang mahal terlebih di sekolah swasta, membuat sebagian orangtua saling berebut kursi demi memasukkan anaknya di sekolah negeri. Sebab fakta saat ini, jumlah sekolah yang dibangun pemerintah (sekolah negeri) masih sedikit dibandingkan jumlah penduduk usia pelajar.
Dalih penerapan sistem zonasi untuk mendorong peningkatan akses layanan pendidikan, nyatanya tidak terwujud. Kekacauan saat penerimaan calon siswa baru di berbagai tempat, menjadi bukti tidak tepatnya kebijakan sistem zonasi yang diberlakukan. Apalagi hal tersebut mendorong masyarakat untuk berbuat serong agar bisa masuk sekolah favorit. Demi meraih tujuan yakni sekolah unggulan, cara curang sekalipun mudah dilakukan. Padahal perbuatannya menzalimi yang lain. Hal inilah menggambarkan gagalnya sistem pendidikan dalam menghasilkan individu yang cerdas, berwawasan luas, berkepribadian saleh, dan bermanfaat bagi sesama. Sebab, bagaimana mungkin tujuan akan tercapai, sementara jalan untuk masuk ke lembaga pendidikannya saja dilalui dengan cara-cara yang salah.
Sehingga antara tujuan pemerintah mengeluarkan kebijakan zonasi dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat sangat berbeda jauh. Bayang-bayang memasukkan anak ke sekolah terbaik sesuai jalur zonasi, justru pupus di tengah banyaknya aksi kecurangan dan penerapan yang jauh dari yang didambakan. Ditambah juga pemerataan pendidikan dengan infrastruktur sebagai penunjang belum mencapai seluruh wilayah. Maka tak heran, banyak para orangtua yang berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke sekolah unggulan dengan anggapan mendapat fasilitas yang mumpuni.
Pada akhirnya, kesuksesan anak hanya dilihat dari nilai materi semata. Sekolah berkualitas karena ditunjang dengan adanya fasilitas, sarana, dan prasarana yang bagus. Sehingga, budaya memasukkan anak ke sekolah unggulan menjadi keutamaan meskipun dengan jalan pintas alias kecurangan.
Inilah bukti hidup di alam Kapitalisme, semua diukur berdasarkan pada manfaat semata. Berharap jalur zonasi mampu menyelesaikan persoalan ketimpangan pendidikan, kenyataan justru menjadi ajang mencari keuntungan. Negara pun abai dari kewajibannya memberi pendidikan yang sama pada seluruh rakyat. Kebijakan tersebut malah menimbulkan masalah dan karut-marut dalam dunia pendidikan tak terhindarkan. Akibatnya, bukan mencetak generasi unggul justru yang ada generasi yang jauh dari visi dan misi pendidikan sesungguhnya yakni menghasilkan individu berkepribadian Islam.
Negara Menyelenggarakan Pendidikan
Islam sebagai agama yang memiliki seperangkat aturan yang sempurna bagi manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dengan hadirnya Islam, membawa kemaslahatan di seluruh aspek termasuk pendidikan di dalamnya. Pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk siswa yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, memiliki karakter, menguasai sains teknologi, dan berbagai keterampilan dalam kehidupan.
Kebijakan zonasi yang diterapkan saat ini, belum mampu menyentuh akar permasalahan dunia pendidikan. Negara sebagai penyelenggara, berkewajiban menyediakan sarana dan prasana yang lengkap dan berkualitas. Karena pendidikan merupakan hak seluruh warga yang harus dipenuhi negara secara adil dan merata. Peran negara agar terselenggaranya pendidikan yang menghasilkan generasi unggul di antaranya menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dalam Islam, visi dan misi sekolah ialah membangun kepribadian Islami, pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa anak didik.
Mempersiapkan anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain). Ulama-ulama yang mumpuni akan membawa negara dan umat Islam untuk menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia, bukan sebagai pengekor maupun agen pemikiran dan ekonomi negara lain.
Negara menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah. Ini adalah kewajiban negara membangun SDM berkualitas dengan menyediakan fasilitas berupa gedung sekolah, laboratorium, balai pendidikan, dan lainnya. Juga menghadirkan para pengajar yang profesional di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup baik tenaga pendidik maupun pegawai yang bekerja di lembaga pendidikan. Adapun output pendidikan Islam adalah lahirnya individu-individu terbaik yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam serta jiwa kepemimpinan baik pada skala individu, komunitas bahkan skala bangsa atau negara.
Dengan demikian, mekanisme yang dilaksanakan oleh negara dalam melangsungkan pendidikan dengan cara Islam. Hal tersebut akan terwujud dengan adanya Daulah Islam yang menerapkan syariat secara komprehensif. Sehingga visi dan misi pendidikan menjadikan anak didik berkualitas akan tercipta. Tidak perlu ada kebijakan zonasi, sebab Daulah memberikan pendidikan secara merata di seluruh wilayah. Sebagaimana sabda Rasulullah Sallahu’alaihi wassalam : “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin, akan dimintai pertanggung jawabannya atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Waalahua’lam bish shawab.