Oleh: Ahmad Khozinudin SH
(Advokat, Sastrawan Politik)
JAKARTA (Arrahmah.com) – “Saya sering sekali memblokir perusahaan ini, perusahaan itu. Memblokir organisasi tertentu dan lain-lain, sudah biasa karena pekerjaan kita. Hanya saja, selama ini kita tidak pernah terekspos karena saya mengikuti betul apa yang berkembang di masyarakat,” [Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae, 8/1/2021]
Suatu wewenang yang diberikan oleh UU, tidak lepas dari adanya tujuan pemberian wewenang. Wewenang tidak boleh disalahgunakan, baik dengan menggunakan wewenang bukan untuk tujuannya, menggunakan wewenang melampaui kewenangannya, atau dilakukan oleh otoritas yang tidak memiliki kewenangan. Jika terjadi salah satu dari tiga keadaan ini, maka sesungguhnya telah terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Wewenang memblokir rekening Bank, pada dasarnya dapat dilakukan oleh pihak bank atas permintaan polisi, jaksa atau hakim terhadap rekening seorang tersangka atau terdakwa tanpa perlu mendapat izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Tugas-tugas penegakan hukum pro justisia, yakni untuk mengungkap agar menjadi terang suatu peristiwa pidana, adalah dasar dan alasan pemblokir rekening yang dibenarkan menurut hukum.
Pendek kata, polisi, jaksa dan hakim adalah otoritas yang memiliki wewenang untuk meminta dilakukan pemblokiran. Sementara, alasan penyidikan atau persidangan suatu proses pidana, menjadi alasan dan tujuan dilakukannya pemblokiran, adalah alasan yang sah dan dibenarkan menurut hukum. Adapun Bank, hanyalah pihak pelaksana pemblokiran.
Kesimpulan ini bisa kita peroleh dari fakta hukum sebagai berikut:
Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan:
“Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.”
Kemudian, dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikatakan:
“Penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan tindak pidana dari:
a) Setiap Orang yang telah melaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b) tersangka; atau
c) terdakwa. ”
Dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) butir a UU 8/2010 bahwa Pihak Pelapor di antaranya adalah termasuk bank.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 98 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, dikatakan:
“Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk menyimpan harta pailit dan menyimpan semua surat, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga dengan memberikan tanda terima. ”
Berdasarkan pengaturan tersebut, seorang kurator dalam kepailitan harus melakukan segala upaya untuk menyimpan harta pailit termasuk permohonan pemblokiran rekening kepada pengadilan . Misalnya karena khawatir debitor akan mengalihkan harta pailit dalam rekening bank. Hanya saja, Kurator melakukan pemblokiran rekening dengan suatu permohonan bukan perintah. Berbeda dengan pemblokiran yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim, yang dapat melakukan pemblokiran berdasarkan permintaan dan/atau perintah.
Pada Pasal 17 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000, disebutkan:
“Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.”
Sehingga, dari ketentuan di atas, selain pejabat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, ternyata pejabat pajak juga dapat langsung melakukan pemblokiran terhadap rekening seorang nasabah bank.
Selanjutnya, apakah PPATK berwenang dan memiliki alasan untuk melakukan pemblokiran rekening bank, dalam hal kasus FPI apakah sudah benar?
Uraiannya adalah sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan ketentuan pasal 44 ayat (1) huruf i disebutkan:
Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat: meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
Agar ada kepastian hukum, keadilan bagi masyarakat dan jaminan penghormatan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), maka kecurigaan PPAT sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (1) huruf i, wajib dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan PPAT sehubungan dengan adanya penyidikan atau setidaknya penyelidikan tindak pidana.
Dalam Kasus pemblokiran sejumlah rekening terkait FPI, yang dijadikan dasar pemblokiran adalah berdasarkan kewenangan PPATK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Tindakan penghentian sementara transaksi dan aktivitas rekening FPI berikut afiliasinya dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsi analisis dan pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lain.
Namun PPATK tidak pernah menyebut satupun proses hukum baik berupa penyidikan atau setidaknya penyelidikan yang dilakukan oleh penegak hukum yang dijadikan dasar pemblokiran. Ingat, dalam UU TPPU maupun UU Terorisme, PPATK bukanlah penyidik sehingga tak berwenang mengambil alih peran penyidik. Itu artinya, pemblokiran yang disandarkan pada UU TPPU, TIPIKOR dan maupun UU Terorisme, harus berdasarkan suatu tindakan penyidikan atau setidaknya penyelidikan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh penyidik atau penegak hukum lainnya, berdasarkan kewenangan yang diatur undang-undang.
Kedua, alasan pemblokiran yang dikaitkan dengan terbitnya SKB 6 pejabat K/L juga tidak bisa dikaitkan dan menjadi legitimasi pemblokiran. Sebagaimana dijelaskan dalam poin pertama, tindakan pemblokiran yang diklaim sebagai tindak lanjut atas pengumuman pembubaran dan pelarangan FPI secara spesifik terhadap rekening tertentu harus berdasarkan suatu tindakan penyidikan atau setidaknya penyelidikan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh penyidik atau penegak hukum lainnya, berdasarkan kewenangan yang diatur undang-undang.
Ketiga, pemblokiran 78 rekening dengan alasan ‘rekening FPI dan yang terafiliasi dengan FPI’ tidak memiliki rumusan yang jelas. Semua sangat subjektif dan suka-suka PPATK.
Apa ukurannya itu rekening FPI? Apakah rekening itu tegas menyebutkan rekening FPI? Apa ukurannya terafiliasi FPI? Apakah, setiap orang yang pernah berinteraksi dengan dakwah FPI dianggap terafiliasi lalu rekeningnya menjadi sah untuk diblokir? Lalu, apakah 7 (tujuh) juta peserta aksi bela Islam yang melakukan aksi besar bersama FPI, dituduh berafiliasi dengan FPI dan akan diblokir semua rekeningnya?
PPATK tidak boleh menjalankan wewenang secara sembrono dan suka-suka dia. PPATK dalam menjalankan kewenangan terikat dengan hukum. Keterikatan ini, menjadi jaminan agar PPATK tidak menyalahgunakan wewenang (abuse of power).
PPATK tidak boleh berdalih menjalankan kewenangan pemblokiran dalam konteks menjaga integritas sistem keuangan dan perekonomian. Justru tindakan serampangan, asal blokir tanpa transparansi dan akuntabilitas, akan menyebabkan instabilitas sistem keuangan dan perekonomian. Karena hilangnya kepercayaan masyarakat pada integritas penyelenggara Negara dalam urusan ekonomi dan keuangan.
Kesimpulan:
- PPATK hanya berwenang melakukan pemblokiran rekening berdasarkan suatu tindakan penyidikan atau setidaknya penyelidikan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum lainnya, berdasarkan kewenangan yang diatur dalam undang-undang.
-
Tindakan pemblokiran rekening yang tidak berdasarkan suatu penyidikan atau setidaknya penyelidikan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum lainnya, berdasarkan kewenangan yang diatur dalam undang-undang, adalah tindakan yang terkategori abuse of power.
-
Tindakan serampangan, asal blokir tanpa transparansi dan akuntabilitas, akan menyebabkan instabilitas sistem keuangan dan perekonomian, karena hilangnya kepercayaan masyarakat pada integritas penyelenggara Negara dalam urusan ekonomi dan keuangan
(*/arrahmah.com)