JAKARTA (Arrahmah.com) – Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) menyikapi Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sedang ramai diperbincangan DPR dan masyarakat.
Wakil Ketua Umum PP Persis Dr. KH Jeje Zaenudin menyampaikan bahwa PP Persis telah melakukan kajian bersama para tokoh dan pakar hukum terkait materi maupun formil dari RUU HIP ini yang diinisiasi oleh Dewan Tafkir PP pada tanggal 30 Mei 2020 lalu. Kesimpulannya bahwa PP Persis tegas menolak RUU tersebut.
Jeje menjelaskan, alasan penolakan tersebut pada prinsipnya sama dengan yang dikemukakan banyak tokoh dan lembaga lembaga lain yang juga sudah menyatakan penolakannya.
“Persis menolak adanya RUU HIP itu karena selain materi dan substansi rancangannya tidak aspiratif, juga keberadaan serta penamaan ruu tersebut sangat tidak singkron dengan kedudukan Pancasila sebagai norma dasar dan falsafah berbangsa bernegara, bukan sebagai norma hukum undang-undang,” kata Jeje, Ahad (7/6/2020), lansir persis.or.id.
Menurut Jeje, UUD 1945 adalah alat dan dasar pengujian bagi suatu produk legislasi yaitu undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Maka bagaimana kemudian Pancasila didegradasi menjadi ideologi yang rumusannya dituangkan dalam sebuah undang-undang produk legislasi DPR bersama Pemerintah?
“Nilai-nilai yang terdalam dan luhur dari Muqaddimah Pancasila itu yang menjadi batang tubuh UUD 1945,” terangnya.
Dan yang lebih penting lagi, lanjut Jeje, penolakan atas RUU HIP juga karena ketidakjelasan urgensinya.
“Kita memandang yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana kasungguhan implementasi dari ideologi Pancasila yang dilakukan oleh para penyelenggara negara dalam segala kebijakannya dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersatu, berdaulat, adil makmur, aman tentram, berdasar kepada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas Jeje.
“Jangan sampai berkembang narasi di masyarakat bahwa pemerintah tidak cakap mewujudkan cita-cita mulia berbangsa dan bernegara, tetapi malah menyiapkan perangkat hukum berupa undang-undang yang bisa berpotensi menjadi alat pemberangusan terhadap suara pihak-pihak yang kritis dan bersebrangan pandangan dengan kemauan penguasa,” lanjutnya.
Dengan tidak ada UU HIP saja, ujar Jeje, stigmatisasi terhadap pihak-pihak yang kritis sudah begitu mudah disematkan sebagai anti Pancasila dan anti NKRI.
“Maka bagaimana lagi jika RUU HIP itu disahkan,” tandasnya.
Sementara kerisauan dan Pengaduan masyarakat terhadap isu dan gejala kebangkitan paham komumisme-leninisme gaya baru yang sudah jelas ditetapkan dalam TAP MPR sebagai idologi yang diharamkan di Indonesia, sepertinya tidak digubris dan dianggap angin lalu saja oleh Pemerintah.
“Oleh sebab itu, agar tidak menjadi polemik berkepanjangan dan menyebabkan terpecah belahnya konsentrasi pemerintah juga masyarakat yang sedang berat menghadapi dampak Covid -19 yang belum reda, seharusnya DPR segera menyambut penolakan masyarakat dengan membatalkan pembahasan RUU HIP tersebut dan mengutamakan pembahasan RUU yang lebih penting bagi kemakmuran rakyat,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)