KAIRO (Arrahmah.com) – Pengadilan di Mesir telah menjatuhkan hukuman dua tahun penjara terhadap seorang aktivis hak asasi manusia atas sebuah video yang dia posting di media sosial yang mengkritik pemerintah karena gagal melindungi perempuan dan pelecehan seksual.
Amal Fathy (38), dijatuhi hukuman pada Sabtu (29/9/2018) dengan tuduhan menyebarkan berita palsu dan didenda 10.000 pound Mesir (setara 562 USD), menurut pengacaranya seperti dilaporkan Al Jazeera.
“Kami akan menentang keputusan itu,” ujar pengacaranya Doaa Mustafa, seraya menambahkan Fathy dapat membayar 20.000 pound agar hukumannya ditangguhkan.
Fathy ditangkap pada bulan Mei, beberapa hari setelah memposting video berdurasi 12 menit di Facebook, yang mengungkapkan kemarahannya pada layanan publik yang buruk di bank lokal, pelecehan seksual oleh seorang sopir taksi, dan atas kemerosotan umum kondisi hidup di negara itu.
Fathy sudah berada dalam tahanan, menunggu persidangan dalam kasus lain di mana ia dituduh terlibat organisasi pemuda terlarang, yang memainkan peran dalam protes 2011 yang memaksa presiden Hosni “Mubarak” mundur dari jabatannya.
“Ini ketidakadilan, tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa dimengerti. kami memiliki bukti untuk membuktikan bahwa dia tidak menyebarkan berita palsu,” ujar suaminya Mohamed Lotfy, seorang aktivis hak asasi manusia dan direktur eksekutif Komisi Mesir untuk Hak Asasi dan Kebebasan.
“Ketika perempuan mengalami pelecehan seksual dan dijatuhi hukuman dua tahun dan didenda dengan cara ini, kami mengatakan kepada seluruh wanita Mesir: ‘tutup mulut Anda, jika tidak ingin pergi ke penjara’,” ujarnya.
Amnesti Internasional mencela vonis memalukan terhadap Fathy, mengatakan dia telah dipenjara “hanya karena keberaniannya untuk berbicara menentang pelecehan seksual”.
“Ini adalah kasus ketidakadilan yang memalukan, di mana orang yang selamat dijatuhi hukuman sementara pelaku tetap bebas,” ujar perwakilan Amnesti Najia Bounaim dalam sebuah pernyataan.
Masalah pelecehan seksual di Mesir mendapat perhatian dunia selama dan setelah pemberontakan 2011 yang menggulingkan “Mubarak”, ketika perempuan dilecehkan, diraba-raba dan dalam beberapa kasus, dipukuli dan dilecehkan secara seksual selama protes massal.
Sekitar 60 persen wanita di Mesir mengatakan mereka telah menjadi korban dari beberapa bentuk pelecehan seksual selama hidup mereka, ujar laporan PBB pada tahun 2017.
Sebuah penelitian yang dirilis tiga tahun lalu oleh Thomson Reuters Foundation, menempatkan Kairo sebagai kota besar paling berbahaya di dunia bagi wanita.
Pada 2014, rezim Mesir mengesahkan undang-undang yang membuat pelaku pelecehan seksual dapat dihukum tiga hingga lima tahun penjara, tetapi hal ini tidak diberlakukan secara luas, terutama ketika menyangkut apa yang dianggap sebagai bentuk pelecehan jalanan yang ringan. (haninmazaya/arrahmah.com)