Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Ahli Hukum & Pemerhati Zionisme)
(Arrahmah.id) – Persoalan anti-Semitisme dan holokaus (Holocaust) yang dilakukan oleh Nazi Hitler sudah selayaknya untuk ditinjau ulang. Demikian itu terkait dengan tendensi Zionis dalam pembentukan negara Israel.
Anti-Semitisme dan holokaus menjadi dasar utama pendirian negara Israel bagi bangsa Yahudi yang diaspora. Terkait dengan hal ini Mahmoud Abbas dalam penelitiannya menyebutkan bahwa holokaus yang dilakukan oleh Nazi adalah sesuatu mitos belaka.
Abbas menyebut pembantaian sekitar enam juta kaum Yahudi merupakan kebohongan yang demikian fantastis dan bahwa pembunuhan tersebut sebenarnya adalah korban dari skenario kolaborasi Zionis dan Nazi.
Menurut Arthur Jones seorang veteran Perang Vietnam, pembunuhan Yahudi oleh pasukan Nazi selama Perang Dunia II, tidak lebih dari sebuah aksi pemerasan internasional oleh kaum Yahudi.
Senada dengan pendapat di atas, menurut penulis elit Zionis yang justru memainkan isu anti-Semitisme. Mereka membangun sentimen terhadap Yahudi ketika Hitler berkuasa, sehingga meningkatkan gelombang anti-Semitisme.
Demikian itu dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif. Petinggi Zionisme membangun narasi pembantaian masal, bukan saja dalam hal pembayaran ganti rugi dari Jerman dengan yang besar, namun juga untuk strategi dan justifikasi pendirian negara Israel.
Sejarah mencatat bahwa holokaus bukan hanya oleh Nazi Hitler dan oleh karenanya bukan yang pertama kali. Sebelumnya, pembantaian kaum Yahudi pernah terjadi di wilayah yang diduduki oleh Rusia di Eropa Timur. Pembantaian itu kemudian memicu eksodus besar-besaran kaum Yahudi ke Amerika Serikat dan Inggris.
Inggris merasa sangat kewalahan menampung imigran Yahudi itu dan pada akhirnya dikeluarkan Aliens Act pada tahun 1904, yang pada intinya tidak menerima Yahudi.
Kemudian hasil konferensi Zionisme Internasional pertama di Bazel Swiss pada tahun 1897 sampai ke Inggris. Kaum Yahudi yang sudah tinggal di Inggris, melalui para saudagarnya seperti Edmond James de Rothschild, berupaya melobi Kerajaan untuk mendukung pendirian negara Zionis di wilayah Palestina yang baru direbut Inggris dari Kekhalifahan Utsmaniyah.
Catatan sejarah juga menyebutkan bahwa sebelum terjadinya Perang Dunia, Zionis melakukan pemaksaan atas orang-orang Yahudi agar bermigrasi dan membangun pemukiman di Palestina.
Tindakan tersebut dilakukan dengan aksi teror gelap terhadap orang-orang Yahudi di Eropa. Upaya tersebut dilakukan oleh karena sebelumnya mereka telah mengeluarkan biaya yang besar untuk pembelian tanah dari orang Arab-Palestina, namun ternyata animo orang Yahudi untuk bermigrasi ke Palestina sangat rendah.
Tidak berhenti disitu, konferensi Zionisme Internasional itu juga menghasilkan kesepakatan untuk melakukan embargo, teror dan pembunuhan gelap terhadap orang Palestina.
Embargo terhadap pemukiman Palestina dilakukan dengan menutup jalur suplai kebutuhan sehari-hari disertai dengan serangkaian intimidasi. Kondisi itu tentu menyebabkan masyarakat Palestina jatuh miskin dan terpaksa atau dipaksa untuk menjual tanah atau berpindah tempat meninggalkan kampung halaman mereka.
Zionis secara terus-menerus melakukan aksi teror dan pembunuhan terhadap orang-orang Palestina untuk memaksa mereka meninggalkan tanah dan tempat tinggalnya. Untuk melakukan hal itu dibentuk kelompok teroris antara lain Haganah, Stern Gang, Bachnach, dan Irgun Levi L’ummi. Jadi dapat dikatakan bahwa teroris pertama di dunia ini adalah Zionisme.
Terdapat dalil semakin kuat anti-Semitisme di Eropa, maka semakin kuat dorongan untuk membentuk negara Zionis di Israel. Keberhasilan propaganda itu menjadi salah satu pendorong imigrasi besar-besaran Yahudi Khazar (Askhenazim) ke Palestina.
Yahudi Khazar ini memang banyak bermukim di Eropa Timur. Propaganda anti-Semitisme menjadi landasan politik Zionisme guna penciptaan negara Yahudi sebagaimana dinyatakan oleh Theodor Herzl saat konferensi Bazel Swiss yang pada akhirnya diakomodir dalam deklarasi Balfour.
Perlu diketahui bahwa konspirasi Zionisme telah berhasil menguasai pemerintahan kerajaan Inggris dengan menempatkan tiga orang agennya, yaitu: David Lloyd George, Arthur Balfaour, dan Wiston Churcill.
Mereka memberikan mandat kepada Liga Bangsa-Bangsa, Al Quds menjadi Ibu Kota Palestina di bawah mandat Inggris (1920-1948). Kemudian diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia II. Selanjutnya melalui keputusan Komisi Internasional pada tanggal 29 November 1947 Al Quds dijadikan sebagai kawasan International. Faktanya tidak demikian.
Lebih lanjut, pada tahun 1933 dilakukan perjanjian Haavara antara antara Nazi Jerman dan organisasi Buruh Zionisme di Jerman.
Organisasi itu yang pertama kali mematahkan boikot internasional terhadap rezim Adolf Hitler. Isi kesepakatannya, bahwa Nazi Jerman akan memberikan kompensasi kepada Yahudi Jerman yang bermigrasi ke Palestina atas harta benda mereka yang hilang dengan mengekspor barang-barang Jerman ke Zionis di negara tersebut, sehingga mematahkan boikot.
Perjanjian tersebut merupakan faktor utama bagi migrasi sekitar enam puluh ribu orang Yahudi Jerman ke Palestina antara tahun 1933 dan tahun 1939.
Tidak dapat dipungkiri, Zionis mengalami masa kebangkitan semenjak adanya dukungan dari Ratu Inggris dengan mengambil pusat di London.
Selanjutnya oleh Zionis dipindahkan ke Amerika Serikat dan dengan itu mereka mendapatkan pengakuan dunia terhadap berdirinya negara Israel. Jadi antara Israel, Inggris dan Amerika Serikat adalah satu poros, yang penulis namakan Tel Aviv, London dan Washinton (Teldonton).
Poros Teldonton ini tidak dapat dilihat dengan pendekatan politis semata. Namun juga menunjuk pada aspek religius yang tidak pula dapat dipisahkan dari Perang Salib.
Pada saat yang bersamaan pertentangan ideologis antara Yahudi dan Islam semakin meningkat. Zionis yang pada awalnya mendapatkan sokongan dari Inggris bergeser perhatiannya ke Amerika Serikat pasca negara koloni Inggris itu merdeka dan menjadikan Amerika Serikat sebagai tameng pelindung Israel. Dalam kaitan ini kita bisa melihat banyaknya hak veto Amerika guna melindungi Israel.
Amerika Serikat telah memveto resolusi yang mengkritik Israel lebih banyak daripada anggota dewan lainnya, yakni empat puluh lima kali per 18 Desember 2023. Amerika Serikat telah memveto sebanyak delapan puluh sembilan resolusi Dewan Keamanan PBB secara total sejak 1945, yang berarti lebih dari separuh vetonya digunakan untuk memveto resolusi yang mengkritik Israel.
Dari resolusi DK PBB yang diveto, tiga puluh tiga di antaranya berkaitan dengan pendudukan Israel atas wilayah Palestina atau perlakuan negara itu terhadap rakyat Palestina.
Amerika Serikat pertama kali menggunakan hak veto guna melindungi Israel pada tahun 1972. Saat itu, Washington memveto rancangan resolusi yang berisi tentang keprihatinan akan situasi yang memburuk di Timur Tengah akibat adanya agresi militer yang dilancarkan oleh Israel di perbatasan Lebanon.
Setelah itu, Amerika Serikat sering menggunakan hak vetonya untuk menghentikan resolusi yang mengkritik Israel. Antara tahun 1982 dan 1990, Amerika Serikat telah menggunakan hak veto untuk mendukung Israel sebanyak 21 kali.
Jadi, hampir setengah dari total veto Amerika Serikat hanya untuk mendukung Israel. Resolusi-resolusi yang diveto tersebut mengkritik agresi Israel di Lebanon dan pendudukannya atas wilayah Palestina.
Pada tanggal 18 April 2024 hak veto digunakan Amerika Serikat untuk menolak rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut keanggotaan penuh Negara Palestina di PBB. Dewan yang terdiri dari lima belas anggota itu mengadakan pertemuan di New York untuk melakukan pemungutan suara terhadap rancangan resolusi yang diajukan Aljazair.
Keanggotaan Palestina di PBB diblokir dengan dua belas suara dukungan, dan dua abstain, termasuk Inggris dan Swiss. Amerika Serikat, sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan, menggunakan hak vetonya untuk menjegal resolusi tersebut.
Sebagaimana diketahui, resolusi dewan memerlukan sedikitnya sembilan suara setuju dan tidak ada veto dari anggota tetap, termasuk Amerika Serikat untuk dapat disahkan. Penggunaan hak veto Amerika Serikat telah menuai kritik karena dianggap tidak demokratis dan menjadi faktor penghambat bagi perdamaian dunia.
Baru baru ini RUU anti-Semitisme diloloskan oleh DPR Amerika. RUU tersebut memperluas definisi anti-Semitisme. Perluasan definisi tersebut dipandang menyamakan kritik terhadap negara Israel dan Zionisme dengan anti-Israel. Tegasnya menyamakan kritik terhadap pemerintah Israel dengan anti-Semitisme.
Menjadi jelas bahwa Amerika Serikat memosisikan diri sebagai pelindung Israel semenjak negara Yahudi itu berdiri. Demikian itu terkonfirmasi dengan dipindahkannya pusat kekuatan dari Inggris ke Amerika Serikat.
Di negara inilah dibangun berbagai organisasi Zionisme yang sama jumlahnya dengan negara bagian. Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations sebagai pucuk kekuatannya. Dengan memanfaatkan ‘tangan-tangan’ Amerika Serikat, Israel telah menjelma menjadi adidaya sesungguhnya. Lobi dan penetrasi yang dilakukan terbukti efektif dan mampu menjadikan Amerika sebagai boneka israel.
Sekarang bahasan kita alihkan pada kontribusi Inggris terkait dengan awal mula pendirian negara Israel sebagai solusi bagi Yahudi diaspora yang mengalami anti-Semitisme dan holokaus.
Bagi penulis, gagasan Zionisme dalam hal solusi tersebut agar mereka kembali pada tanah leluhur nenek moyangnya di wilayah Palestina adalah kedustaan belaka. Penyebaran kaum Yahudi diberbagai belahan dunia sangat mustahil dalam rentang waktu yang demikian lama disatukan kembali dalam satu kesatuan ruang hidup. Mereka sudah ratusan tahun hidup dalam diaspora dan selama itu mereka menikmatinya.
Jika tidak ada konspirasi dan propaganda tidak akan mungkin terjadi migrasi yang demikian besar itu.
Tentu menjadi aneh ketika Zionisme menetapkan pilihan Palestina yang notabene di bawah kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah sebagai pemukiman bagi Yahudi diaspora. Sangat tidak masuk akal sekelompok orang yang diwakili oleh Theodor Herzl berani meminta kepada Sultan Abdul Hamid II dan kemudian melakukan konspirasi guna membubarkan Kekhalifahan Islam terakhir itu.
Terlebih lagi penolakannya terhadap tawaran Inggris yang sudah siap memberikan wilayah Uganda dan Argentina untuk pemukiman Yahudi.
Pada akhirnya pada tahun 1948, Inggris beserta kekuatan Eropa lainnya bersepakat untuk memberikan sebuah wilayah di Palestina untuk dijadikan negara Israel. Di sini terlihat Zionis yang diwakili oleh Theodor Herzl telah memosisikan diri melebihi Kerajaan Inggris.
Tidaklah mungkin penolakan itu terjadi tanpa adanya suatu sebab. Sebab itu menunjuk pada konspirasi Zionisme dalam tubuh Kerajaan Inggris dan mereka yakin akan terbitnya Deklarasi Balfour.
Ternyata, deklarasi tersebut dimuat dalam sebuah surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Baron Rothschild pada tanggal 2 November 1917.
Dia merupakan seorang pemimpin komunitas Yahudi Inggris dan kemudian surat itu disampaikan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Surat itu pada intinya menyatakan persetujuan Kerajaan Inggris dalam pembentukan negara bagi kaum Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan segala upaya untuk memfasilitasi tercapainya pembentukan negara baru itu.
Inggris berusaha meminimalisir akses yang terjadi sebab Deklarasi Balfaour. Berbagai penjelasan disampaikan kepada negara-negara Arab, bahwa tanah air bangsa Yahudi bukan berarti pemerintahan Yahudi. Didalilkan tak lain hanya tanah air yang bersifat spiritual bagi bangsa Yahudi, seperti Vatikan bagi umat Nasrani dan Mekkah bagi umat Islam.
Ini adalah tipuan belaka. Dimaksudkan guna meredam kemarahan bangsa Arab dan umat Islam dunia. Inggris jelas memainkan peran secara bertahap dengan berbagai tipu daya yang menyesatkan. Pada akhirnya, tujuan yang dicanangkan terlaksana sebagaimana kesepakatannya dengan Zionis Internasional tersebut.
Sejak awal, Deklarasi Balfour mengandung kontroversi dan telah membingungkan para sejarawan selama beberapa dekade. Deklarasi Balfour itu sangat terkait dengan janji Inggris kepada Yahudi.
Dikatakan demikian oleh karena Inggris pernah meminta bantuan Yahudi di Amerika untuk memenangkan Perang Dunia I dengan beraliansi bersama Amerika Serikat. Dapat dikatakan bahwa kemenangan sekutu dengan sendirinya menjadi kemenangan bagi konspirasi Zionisme.
Perjanjian Balfour juga dipandang sebagai penyebab peristiwa Nakba, yakni pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 dan penjajahan yang dilakukan oleh Zionis Israel.
Pada waktu itu, kelompok bersenjata Zionis – yang dilatih oleh Inggris – mampu mengusir paksa lebih dari tujuhratus limapuluh ribu rakyat Palestina dari tanah air mereka. Genosida etnis Palestina masih berlangsung hingga kini. Dahulu Zionis menggunakan isu holokaus, kini mereka melakukan pembantaian dengan jumlah yang relatif sama, bahkan lebih.
Migrasi ke Palestina bukan hanya dalam hal hidup bersama dalam kesatuan geografis dan entitas ras, atau juga “hak historis” melainkan guna kepentingan kesatuan politik. Dalam kaitan ini Syafiq Jasir mengatakan, sepanjang sejarah manusia tidak ada ditemui hak historis sebagaimana yang dimaksudkan oleh Zionisme atas Palestina.
Alasan tanah leluhur mereka yang telah memerintah sebagian wilayahnya sejak tiga ribu tahun sebelum Masehi tidak dapat dibenarkan. Argumen Jasir tepat, jika logika mereka mendalilkan hak historis, maka konsekuensi logisnyanya sebagian besar bangsa kontemporer tidak akan tinggal di wilayah yang sekarang ini mereka diami. Demikian itu menunjuk pada Amerika Serikat, negara-negara Amerika Latin, Australia, Spanyol dan lain sebagainya.
Sejalan dengan Jasir, Mahir Ahmad Agha mengatakan bahwa bangsa Yahudi tidak pernah mayoritas dan bukan penduduk asli Palestina, lebih dari lima abad. Pada masa itu, bangsa Yahudi adalah minoritas di tengah-tengah bangsa Kana’an yang merupakan penduduk asli Palestina sebelum dan sesudah Masehi. Pendapat Agha selaras dengan pernyataan sejarawan dan orientalis terkemuka, Arnold Toynbe.
Ia menegaskan bahwa secara legal-konstitusional wilayah Israel, dari dulu sampai sekarang adalah milik bangsa Arab Palestina yang diusir dari rumah-rumah mereka secara paksa. Begitu juga Lord Muin, Gubernur Inggris di Kairo mengatakan, orang-orang Yahudi bukanlah termasuk keturunan bangsa Ibrani, sehingga mereka tidak punya hak untuk menuntut Tanah Suci tersebut.
Masih banyak lagi pendapat senada, namun pendapat di atas kiranya dapat mewakili guna membantah klaim Zionis Yahudi.
Zionisme Internasional dari semenjak pembentukannya dan sesuai dengan namanya sangat bernafsu untuk menguasai dunia dengan didahului mendirikan negara Israel. Strategi anti-semitisme dan isu holokaus yang berhasil memasukkan bangsa Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab Muslim tentunya akan menimbulkan konflik.
Demikian itu memang diciptakan guna menghambat kebangkitan bangsa Arab dan umat Islam. Dalam hal ini mereka merasa berpengalaman saat menyulut terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Di sisi lain kontrol geopolitik Timur Tengah ada pada kendali Amerika Serikat yang dipenuhi dengan kepentingan strategis mereka.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, nafsu Zionisme yang didukung oleh sekutunya adalah sebangun dengan watak Iblis.
Jakarta, 4 September 2024.
Pusat Pemikiran Al Fatih
(ameera/arrahmah.id)