JAKARTA (Arrahmah.com) – Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, kerap dikait-kaitan dengan kasus terorisme yang ada di Indonesia. Pengurus pesantren ini merasa terzalimi dan dirugikan dengan segala tudingan dan tuduhan tersebut.
“Kami tidak rela ada upaya penzaliman tuduhan terorisme. Kami selalu dikaitkan, kalau ada alumni yang melakukan dikaitan ke pesantrennya, padahal banyak juga alumni universitas yang melalukan pelanggaran,” kata Direktur Pondok Pesantren Islam Al Mukmin, Ngruki, Ustad Wahyudin dalam jumpa pers di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Kamis (13/9) dikutip detikcom.
Pertemuan dengan wartawan itu digelar di ruangan pers yang terletak di lantai dasar Masjid Istiqlal. Pada jumpa pers itu Wahyudin didampingi oleh Wamenag Nasaruddin Umar dan sekitar 5 orang alumni Ponpes Al Mukmin.
Wahyudin mengatakan, jumpa pers yang diadakan di Masjid Istiqlal adalah sebagai bentuk tanggung jawab terhadap santri, alumni dan juga kepada wali santri. Hal ini disebabkan alumni pesantren Ngruki sudah tersebar di banyak wilayah.
“Kalau ada pencitraaan buruk kami khawatir menggangu mereka dan ini tanggung jawab kami kepada wali santri itu lah yang mendorong kami,” kata Wahyudin yang mengenakan jas hitam dan kopiah hitam ini.
Wahyudin menilai terlalu banyak kepentingan dalam kasus terorisme sehingga penanggananya banyak yang tidak tepat. “Tentunya penangan harus proporsional, tapi kalau tujuannya terselubung pasti dampaknya akan susah dihadapi,” kata pria berkacamata ini.
Ketika ditanya mengenai penanganan yang proporsional, Wahyudin mempertanyakan apakah harus terduga teroris langsung dihabisi. “SOP-nya apa memang begitu ? Bahwa yang terindikasi langsung dihabisi? Seperti misalnya di Ciputat kami dengar mereka langsung ditembak,” kata ustadz Waahyudin yang berjanggut putih ini.
Menurut Ustad Wahyudin, tindakan para teroris memang keliru, karena itu mereka butuh pembinaan untuk kembali ke jalan yang benar. Sebab bila orang-orang seperti itu dengan serta merta dihabisi maka akan muncul dendam berkepanjangan.
“Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) menjadi momok yang disegani, ditakuti, bahkan dibenci. Kita tidak mau ada penzaliman, orang yang belum tentu bersalah sudah diadili,” lanjut pria berjenggot putih ini.
Dia juga menolak siapapun yang berniat menunggangi Ponpes Al Mukmin dengan aneka kepentingannya. “Kita sudah punya khittah, apapun yang membelokkan, menghalangi kegiatan pendidikan kami, kalaupun mau berubah harus melalui rapat musyawarah,jadi kami menolak ditunggangi,” tutur Ustad Wahyudin.
Farhan Mujahid dan Muchsin Tsani, tersangka teroris yang tewas saat baku tembak dengan polisi, diketahui pernah bersekolah di ponpes ini. Namun Ustad Wahyudin menegaskan pihaknya tidak pernah mengajarkan dan mengarahkan kekerasan kepada para santri.
Menurutnya, Farhan belum lulus pendidikan Ponpes Al Mukmin. Sebab Farhan baru menyelesaikan pendidikan hingga SMP. Sedangkan yang dimaksud lulus adalah bila menyelesaikan pendidikan sampai SMA.
“Setiap santri yang tamat, kami kembalikan kepada bapak ibunya dan menjadi tanggungan individu. Tapi kalau 3 tahun itu belum tamat. Saya juga tidak tahu dia keluar mendapatkan pelatihan di Moro atau di mana,” papar Ustad Wahyudin yang mengenakan jas hitam dan berpeci hitam ini.
Sedangkan Muchsin, imbuhnya, pemuda itu baru saja lulus. Dia menyayangkan aparat yang terburu-buru menembak mati Muchsin.
“Kalau Muchsin, anak itu kan baru lulus kok bisa ditembak mati. Karena kami melihat Muchsin itu kalau dimarahi saja langsung menangis. Apa karena prosedur? Di situ kejanggalan,” ucap Ustad Wahyudin. (bilal/arrahmah.com)