SOLOK (Arrahmah.com) – ‘’Alhamdulillah, merdekaaa…!’’ seru puluhan santri dan guru Pondok Pesantren Dr Mohammad Natsir Kabupaten Solok sambil mengangkat tangan terkepal, menyambut kucuran air dari sumur asrama, Kamis, 17 Agustus lalu.
Hari itu, mereka ibarat ‘’memproklamirkan kemerdekaan’’ dari ketergantungan pada air bandar (parit) untuk kebutuhan MCK (mandi, cuci, kakus).
Sebelumnya, air selokan terpaksa jadi andalan asrama, lantaran aliran air PDAM (perusahaan daerah air minum) tak sampai di ketinggian asrama, dan sumur juga belum tersedia. Warga asramapun memanfaatkan air dari parit yang dialirkan ke penampungan.
Dulu, semasa ninik-mamak, air sungai dan parit di dataran tinggi Solok, masih jernih. Namun kini, seiring kian banyaknya penduduk dan alih fungsi lingkungan, air parit sudah banyak mengandung cemaran domestik.
Kabar memprihatinkan dari Jorong Batubagiriak, Kenagarian Alahan Panjang, Kec Lembah Gumanti, itu sampai ke Sekretaris Umum Dewan Dakwah, Avid Solihin, yang segera meminta Laznas (Lembaga Amil Zakat Nasional) Dewan Dakwah membantunya.
Bersama Dewan Dakwah Sumatera Barat, Laznas Dewan Dakwah turun ke Lembah Gumanti. Hingga tiga pekan kemudian, alhamdulillah, air sumur nan jernih dan melimpah mengalir di asrama putri Pesantren Natsir.
Pesantren M Natsir lahir dari keprihatinan beberapa orang guru Sekolah Menengah Atas (SMA) Alahan Panjang terhadap siswa-siswa mereka yang sering terlambat membayar uang sekolah (SPP). Setelah ditelisik, hal itu disebabkan kemiskinan keluarganya. Maka, muncul inisiatif dari para guru SMA Negeri Alahan Panjang untuk mendirikan sekolah gratis.
Sejak 1992, rencana mendirikan sekolah tersebut mulai dibicarakan oleh berbagai komponen dan tokoh masyarakat Batubagiriak, Kenagarian Alahan Panjang. Pertemuan pertama diadakan di Mushalla Nurul Iman, yaitu mushalla masyarakat Batubagiriak yang hingga saat ini masih digunakan oleh Pondok Pesantren Muhammad Natsir sebagai tempat belajar murid-murid madrasah diniyah awaliyah (MDA).
Respon masyarakat Batubagiriak, Alahan Panjang, sangat positif terhadap rencana pendirian sekolah yang merupakan cikal bakal pesantren tersebut. Hal ini terlihat dari kerelaan hati mereka memberikan infak berupa uang, emas, binatang ternak dan beberapa lahan di sekitar mushalla Nurul Iman sebagai modal bagi pendirian pesantren.
Setelah itu, hingga dimulainya pembangunan pondok pesantren, para pendiri dan tokoh masyarakat Batubagiriak mulai mengintensifkan kegiatan di Mushalla Nurul Iman. Pengajian digelar sekali dalam seminggu disertai sosialisasi pentingnya pendidikan, terutama pendidikan agama terhadap generasi muda. Para ustadz yang mengisi pengajian didatangkan dari luar daerah seperti Solok, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Padang.
Pembangunan Pondok Pesantren Dr Mohammad Natsir dimulai dengan pembentukan Yayasan Nurul Iman, untuk mengenang titik pangkal perjuangan mereka.
Misi Yayasan Nurul Iman adalah; pertama, menyelenggarakan amal usaha sosial yang profesional, berkualitas dan mampu mengantarkan santri dan masyarakat kepada kesejahteraan lahir-batin; kedua, menyelenggarakan pendidikan akademik yang Islami, profesional, berkualitas dan mampu menjawab tantangan zaman; ketiga, menciptakan pembinaan anak didik dalam pesantren untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berakhlak mulia dan berguna bagi umat dan negara; keempat, membangun dakwah dalam rangka terciptanya masyarakat yang Islami; kelima, membangun amal usaha ekonomi produktif yang berhasil guna, berfungsi guna, dan bernilai guna bagi kesejahteraan umat; keenam, melaksanakan kerja sama dengan berbagai lembaga dan institusi lain, pemerintah dan swasta dalam upaya meningkatkan mutu yayasan, pendidikan dan lapangan kerja, serta pembinaan dengan stakeholder lainnya.
Sarana pendidikan pertama yang dibangun sebagai tahap awal bagi pendirian pesantren adalah Masjid Nurul Iman dan Panti Asuhan yang sekarang ini berlokasi di komplek Yayasan Nurul Iman yang menaungi pendidikan Pesantren Muhammad Natsir. Pada tahun yang sama dimulai pula pembangunan gedung yayasan, sekolah, asrama dan sarana penunjang pendidikan lainnya.
Pemberian nama pesantren atas usul tokoh masyarakat yang ingin mengabadikan nama ulama dan tokoh nasional asal Alahan Panjang, yaitu Dr Mohammad Natsir.
Dengan menyemat nama pahlawan nasional tersebut, para pendiri pesantren dan tokoh masyarakat Alahan Panjang berharap dapat mewarisi inspirasi perjuangan Pak Natsir, yaitu: memajukan pendidikan agama Islam, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun masyarakat yang Islami, dan melahirkan santri-santri mujahid dakwah yang memiliki keahlian dan keterampilan.
Pondok Pesantren terpadu Muhammad Natsir kini menyelenggarakan pendidian anak usia dini (PAUD dan TK), madrasah tsanawiyah (MTs) dan SMA.
Ketiganya terletak pada dua lokasi berdekatan di Jorong Batubagiriak. Selain itu, di komplek yayasan Nurul Iman terdapat masjid, mushalla, asrama putra-putri, panti asuhan dan dapur pesantren. Sementara, Madrasah Tsanawiyah dan SMA terletak di sekitar 500 meter sebelah barat komplek.
Yayasan juga bekerjasama dengan Universitas Andalas (Unand) Padang membuka areal Pusat Alih Teknologi dan Pengembangan Kawasan Pertanian (PAT-PKP) di Jorong Galagah, Nagari Alahan Panjang. Di areal terpadu ini dikembangkan peternakan dan pertanian modern serta ramah lingkungan.
Sedangkan dengan Malaysia, yayasan membudidayakan tanaman kayu putih untuk diambil kayu dan daunnya.
Sebelum mengalami krisis air bersih, Pesantren M Natsir sempat terdampak angin puting beliung pada Desember 2016. Pada 19 Januari 2017 jelang tengah malam, si gulambai (si jago merah) mendadak membakar dua lokal dan satu kantin pondok. Akibat musibah ini, Ponpes M Natsir mengalami kerugian sekitar Rp 200 juta.
Kini, semua hampir rampung direkonstruksi. Termasuk instalasi pipanisasi air sumur ke dapur dan MCK asrama.
Pada momen 17 Agustusan 2017, bantuan sumur secara simbolik diserahkan Wakil Ketua Dewan Dakwah Sumatera Barat, H Anisral, kepada Ketua Yayasan Nurul Iman, Darman. Turut menyaksikan serah-terima, pengurus Dewan dakwah Sumbar Datuk Afdal dan pengurus Yayasan Nurul Iman serta pengasuh pondok.
Para santri putri yang berjumlah 151 dari 300-an santri, menyambut gembira aliran air sumur di asrama mereka.
‘’Alhamdulillah, senang,’’ ucap Selly sambil tersenyum dikulum. Santri dhuafa asal Kayu Tanam kelas duabelas ini, ternyata memiliki tumor di langit-langit mulut bagian depannya. Karena itu, ia agak susah makan dan bicara.
‘’Insya Allah akan ditangani RS Ibnu Sina Padang,’’ ujar H Anisral yang juga pengurus Yayasan Ibnu Sina.
(azmuttaqin/*/arrahmah.com)