KAIRO (Arrahmah.com) – Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, bertemu Kamis (10/1/2019) dengan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi di Kairo, bagian dari kunjungan untuk mengatasi kekhawatiran para sekutu Amerika di Timur Tengah.
Kunjungan diplomat tinggi Washington itu terjadi di tengah kebingungan mengenai rencana dadakan Presiden Donald Trump untuk menarik pasukan AS keluar dari Suriah.
Pompeo tiba di Kairo Rabu malam (9/1) setelah singgah di Yordania dan Irak, dalam perjalanan terlama sejak mengambil jabatan tahun lalu.
Dia bertemu dengan Sisi di Istana Ittihadeya dan dijadwalkan untuk mengadakan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Sameh Shoukry sebelum memberikan pidato utama pada Kamis (10/1) di Universitas Amerika di Kairo yang menguraikan kebijakan AS di Timur Tengah.
Peran AS di Timur Tengah telah lama menjadi topik yang rumit mengingat invasi Amerika ke Irak, permusuhan dengan Iran, terorisme, produksi minyak dan konflik ‘Israel’-Palestina yang menemui jalan buntu.
Di bawah Trump, kebijakan AS di Timur Tengah dalam beberapa hal dinilai kurang ambisius daripada pemerintahan sebelumnya.
Trump hampir sepenuhnya memihak ‘Israel’ melawan Palestina, termasuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara Zionis.
Dia telah memperjelas bahwa memiliki hubungan yang baik dengan Arab Saudi, dan menjamin penjualan senjata AS di masa depan ke negara itu, akan lebih penting daripada kekhawatiran lain, bahkan setelah kemarahan di Kongres dan lainnya atas pembunuhan seorang jurnalis Saudi yang tinggal di Amerika Serikat.
Trump telah menunjukkan ambivalensi tentang Suriah, sebagian besar menghindari perang saudara negara itu meski tetap meluncurkan dua serangan udara terhadap rezim Suriah atas penggunaan senjata kimia.
Amerika Serikat dan Mesir menikmati hubungan hangat di bawah pemerintahan Trump.
Politico.com bulan lalu melansir bahwa kunjungannya ke Kairo ini kemungkinan akan menjadi bagian dari ayunan yang lebih luas melalui Timur Tengah, dengan potensi berhenti di ‘Israel’ dan negara-negara Arab terdekat.
Mesir sendiri telah lama menjadi sekutu penting AS di kawasan itu, berkat kesediaannya untuk menghormati kesepakatan damai dengan ‘Israel’ dan kesediaan untuk memerangi jaringan ‘teroris’.
Jatuhnya otokrat Mesir Hosni Mubarak selama gerakan Musim Semi Arab 2011 memunculkan kekuasaan sementara Ikhwanul Muslimin sebelum seorang tokoh militer mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tahun 2013.
Sisi sendiri telah lahir sebagai Mobarak baru yang menempatkan beberapa persyaratan paling menindas yang pernah dialami rakyat Mesir, membantai para pemrotes, menahan para pembangkang, dan menjaga media dengan erat.
Trump, bagaimanapun, telah memelihara hubungan yang hangat dengan Sisi, menyebutnya “pria yang fantastis”, Dan Pompeo telah menyetujui untuk melepaskan bantuan militer AS ke negara itu meskipun ada pengakuan oleh Departemen Luar Negeri bahwa situasi hak asasi manusia di negara itu semakin mengerikan.
Sejak 1980, sebetulnya pemerintah AS telah memberi Mesir bantuan militer senilai lebih dari $ 40 miliar dan $ 30 miliar dalam bantuan ekonomi.
Ibukota Mesir ini adalah situs pidato Presiden Barack Obama Juni 2009 untuk dunia Muslim, di mana ia berusaha untuk membarui citra Amerika di wilayah tersebut ketika Perang Irak berakhir.
Dari Kairo, Pompeo dijadwalkan menuju ke Bahrain, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Oman, dan Kuwait. (Althaf/arrahmah.com)