SWEDIA (Arrahmah.id) — Pembakaran Al Quran di Kota Linkoping, Swedia (14/4/2022) yang dilakukan politisi partai politik sayap kanan Stram Kurs, Rasmus Paludan, memicu kemarahan umat Islam Swedia.
Tak kurang 200 muslim berkumpul untuk memprotes tindakan ‘penistaan agama’, yang dilakukan massa Stram Kurs dengan membakar Al Quran.
Massa melempari polisi dengan batu, menutup jalan untuk pergerakan kendaraan dan melakukan serangan pembakaran pada kendaraan polisi.
Mikail Yuksel, pendiri Partai Nuansa Swedia, menuduh Paludan, Ketua Partai Stram Kurs sebagai dalang yang memprovokasi masyarakat atas umat Islam dengan melakukan tindakan penistaan di luar masjid dan di daerah yang mayoritas penduduknya Muslim.
“Di Swedia, yang membela hak asasi manusia, kebebasan beragama dan hati nurani dengan nada tertinggi, Al Qur’an dibakar di lingkungan Muslim di bawah perlindungan polisi,” sebut Yuskel dilansir Opini India (16/4).
Yuskel menambahkan pihak kepolisian memberikan izin untuk mengadakan acara pembakaran Al Qur’an, yang kemudian membubarkannya karena situasi hukum dan ketertiban yang memburuk.
“Kita hidup dalam masyarakat demokratis dan salah satu tugas terpenting polisi adalah memastikan bahwa orang dapat menggunakan hak mereka yang dilindungi secara konstitusional untuk berdemonstrasi dan mengekspresikan pendapat mereka. Polisi tidak bisa memilih siapa yang memiliki hak ini, tetapi harus selalu campur tangan jika terjadi pelanggaran,” ujar Kepala Polisi Nasional Anders Thornberg di tengah kerusuhan.
Kerusuhan di Linkoping memicu berbagai kerusuhan di kota-kota besar lainnya di Swedia, seperti di Norrkoping, Rinkeby, Stockholm dan Orebro.
Kerusuhan juga memecah Kota Orebro, Swedia, Jumat (15/4) atau sehari setelahnya. Kali ini perusuh dan polisi terlibat dalam serangan. Perusuh melempari batu, menerobos barikade polisi dan membakar empat kendaraan.
Atas kejadian tersebut, sedikitnya empat polisi dan seorang warga sipil terluka akibat serangan tersebut.
“Fakta bahwa ini [kerusuhan] dibiarkan terjadi adalah dakwaan berat atas kegagalan kepemimpinan polisi Swedia untuk menegakkan supremasi hukum,” katanya peneliti independen Hugo Kamman dalam sebuah tweetnya.
Saat menanggapi kekerasan tersebut, Perdana Menteri Swedia Magdalena Andersson mengatakan akan mengutuk keras kekerasan yang sekarang diarahkan pada polisi dan masyarakat umum di Orebro.
“Kemarin dan malam hari kami melihat pemandangan serupa di Linköping dan di Norrköping. Beberapa petugas polisi telah terluka saat bekerja dalam pelayanan mereka untuk membela hak-hak demokrasi,” ucap Andersson.
Ini bukan pertama kalinya Paludan menjadi dalang kerusuhan di Swedia.
Pada Agustus 2020, kerusuhan pecah di kota Malmo di Swedia setelah seorang anggota kelompok Stram Kurs membakar salinan Al Qur’an. Pembakaran Al Qur’an adalah bagian dari protes anti-Islam yang terjadi menyusul penangkapan Paludan kala itu.
Pihak berwenang telah menginformasikan bahwa Paludan dilarang masuk Swedia selama dua tahun karena kekhawatiran tentang terjadinya pelanggaran hukum di negara tersebut.
Karena itu, dia dihentikan di perbatasan dan ditolak masuk ke Malmo.
Sebagai tanggapan, Paludan telah mengunggah ucapannya di Facebook yang dianggap berbunyi provokasi bagi para pengikutnya.
“Dikirim kembali dan dilarang dari Swedia selama dua tahun. Namun, pemerkosa dan pembunuh selalu diterima!”. (hanoum/arrahmah.id)