POLITIK kini berhubungan dengan kekuasaan. Dalam masa dahulu, apalagi Yunani kuno, politik mencakup semua soal yang berkaitan dengan masyarakat, termasuk pendidikan dan agama. Dengan terpilihnya bidang-bidang kehidupan di Barat, terutama dengan tumbuhnya pemikiran tentang negara sekuler di satu pihak dan negara agama di pihak lain, politik yang menguasai kehidupan di Barat terpisah dari soal dan ajaran agama. Perkembangan ini diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terpisah dari agama. Sebenarnya, agama yang dimaksudkan di sini adalah agama Kristen, karena memang pertentangan paham hidup di masa abad pertengahan Eropa itu adalah pertentangan antara akal (reason, rasio) dan gereja, antara raja dan gereja. Baik raja maupun gereja mengenal hirarki kekuasaan. Gereja dengan pendetanya yang berpuncak pada Paus, dan raja dengan menteri dan hulubalangnya. Gereja dan raja itulah yang memperebutkan kekuasaan.
Islam, pahamnya berbeda. Dalam prinsipnya ia tidak mengenal hirarki kekuasaan. Bahwa ada kesultanan dan kerajaan dalam sejarah Islam, bukan lah ini berpangkal pada adanya hirarki kekuasaan dalam agama Islam, melainkan karena budaya masyarakatnya memang mengenal hirarki ini. Dalam semua lapisan masyarakat, apakah itu rakyat jelata, pejabat, polisi, tentara, kalangan orang bisnis, orang teknik atau teknologi, pendidikan, universitas, pekerja, petani, nelayan dan sebagainya, Islam menuntut pada pemeluknya untuk menegakkan ajaran Islam dalam diri, Negara, dan masyarakat. Ajaran Islam itu tersimpul dalam kata syari’ah.
Maka orang ‘alim (dalam Islam) adalah orang yang mempunyai pengetahuan. Tentu di dalamnya tercakup ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan “umum”. Dalam Islam, yang kedua bermuara pada yang pertama, yang disimpulkan oleh Konferensi Islam International I di Makkah tahun 1997 dengan mengatakan bahwa al-‘ulum al-muktasabah (ilmu-ilmu perolehan, seperti bahasa, matematika, ilmu alam, filsafat, sejarah -jadi ilmu-ilmu yang termasuk humanitites, ilmu sosial (seperti sejarah, antropologi, sosiologi, dan ilmu alam). Teknik, industri, hendaklah berpangkal pada al-‘ulum al-naqliyah – ilmu-ilmu wahyu (qur’an, sunah, tafsir, fiqih, dsb).
Oleh sebab itu kekuasaan pun, menurut Islam harus berpangkal pada ajaran agama, baik moral maupun sikap, kecenderungan dan sifat manusia hendaknya dijabarkan dengan ajaran Islam. Hal seperti ini tidak dapat dikesampingkan dengan akal: yang jahat tetap disebut jahat yang baik tetap baik. Untuk mengambil contoh yang mudah, judi dan maksiat, tidak bisa disandarkan pada akal manusia, karena senantiasa ada saja yang pro dan kontra dalam hubungan ini. Kita mencatat umpamanya bahwa dalam budaya Barat dahulu, kebebasan seks tidak diterima, tetapi dalam masa sekarang, ia bagaikan masuk dalam hak asasi manusia. Dalam Islam kebebasan seperti ini tergolong haram. Perbedaan hal-hal seperti ini mudah kita telusuri dengan memperhatikan kategori yang lima dalam hukum Islam (al-ahkam al-khamsah): wajib sunnah, mubah/jaiz, makruh, dan haram.
Maka kalau pun dikatakan bahwa syari’ah itu hukum, namun tidak lah dapat ia samakan dengan hukum seperti yang berkembang di Barat yang banyak mempengaruhi hukum nasional kita. Hukum Barat mengenal hukum privat (pribadi), yang berlaku dengan pengaduan (jadi delik aduan), dan hukum publik (yang berlaku dan ditegakkan lepas dari aduan); sehingga jaksa, polisi -kalau perlu tentara- dapat menegakkannya, dan mengejar orang yang melanggarnya, tanpa aduan seseorang.
Dalam masyarakat Islam seharusnya hal ini berarti bahwa pelanggaran hukum merupakan kekecualian, bukan hal yang biasa. Kita patut menangis melihat keadaan perkembangan negara dan masyarakat kita kini yang mayoritas Islam, bahwa pelanggaran hukum bagaikan sebuah kebiasaan, dan yang patuh hukum merupakan kekecualian. Hukum di negeri kita tidak tegak sama sekali.
Oleh sebab itu perlu sekali masyarakat yang mayoritas Islam ini diajak kembali kepada ajaran pokoknya: Islam atau syari’ah dengan pemahaman di atas. Budi pekerti atau moral merupakan hal yang harus ditegakkan dari buaian hingga ke liang kubur. Malah ketika bayi masih dalam rahim ibunya, ajaran Islam perlu ia kenal dengan kebiasaan si ibu dan tingkah lakunya yang unik: senantiasa mengingat Allah, berbuat baik dan menunjukkan kasih, senantiasa beribadah (shalat, puasa, membaca Qur’an, memulai sesuatu dengan bismillah, menyudahinya dengan al-hamdulillah ) agar semua tingkah lakunya ini dapat turun kepada anak yang dikandungnya; menjadi anak shalih kemudian.
Inilah tugas mereka yang berada dalam Majelis Mujahidin yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 7 Agustus 2000. Tugas mereka ini berat, tetapi bukankah tiap tugas yang mulia memang berat? Tugas ini hanya berhasil dengan kebersamaan, dengan senantiasa mengingat amanah, disertai ikhlash, jujur, satu kata dengan perbuatan, membela yang lemah, mendahulukan kepentingan bersama, dan tunduk tawadhu’ menghadap Allah Swt. Hanya dengan cara-cara ini kita bisa berharap bahwa Indonesia kita ini bisa menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,- negeri yang sejahtera dan diampuni oleh Allah. Amin.
Oleh: Prof. Dr. Deliar Noer *Anggota Ahlul Halli wal Aqdi Majelis Mujahidin bidang politik (Siyasah Syari’ah) – dikutip dari Risalah Mujahidin