Oleh Uqie Nai
Member Menulis Kreatif
Usai pelantikan, beberapa Anggota DPRD di Jawa Timur ramai-ramai ‘gadaikan’ Surat Keputusan (SK) pengangkatan ke bank. Sejumlah bank dikabarkan berani menghargai SK tersebut senilai Rp500 juta hingga 1 miliar rupiah selama lima tahun mereka menjabat.
Jumlah yang cukup menggiurkan bagi anggota legislatif yang baru diangkat. Fakta ini terjadi bukan hanya di Jawa Timur, di Kota Serang, Bangkalan, dan Malang pun dikabarkan melakukan hal serupa. Di Kota Serang, ada sekitar 10 orang anggota DPRD menggadaikan SK mereka ke bank. Di Bangkalan ada 20 orang, sementara di Malang ada sebanyak 17 dari total 45 anggota DPRD dilantik yang sudah menggadaikan SK. (Tirto.id, Selasa 10/9/2024)
Fenomena ‘gadai’ SK tersebut mengundang komentar dari Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Prof Anang Sujoko. Anang menilai langkah anggota legislatif menggadaikan SK adalah fakta yang cukup memprihatinkan sekaligus menunjukkan bahwa biaya politik pemilu legislatif berbiaya cukup besar. Ia pun menyakini bahwa pengeluaran untuk seorang bakal calon legislatif bukan hanya ratusan juta tapi bisa melebihi angka Rp1 miliar.
Anang menyebut ada banyak komponen yang menjadikan biaya politik seorang calon legislatif itu sangat mahal. Di antaranya biaya untuk pengadaan alat-alat kampanye; biaya kebutuhan tim sukses bacaleg; biaya untuk merawat konstituen atau program-program yang bisa meningkatkan loyalitas konstituen. Karena kebutuhan ini tidak murah, sehingga di antara bacaleg akhirnya pinjam modal kepada pihak-pihak tertentu. Baik kepada personal atau ke perbankan. Maka tentu saja biaya pinjaman ini harus dikembalikan saat bacaleg terpilih itu dilantik. (Detikjatim, Sabtu, 7/9/2024)
Pesta Demokrasi Berbiaya Mahal, Wakil Rakyat Sibuk Kembalikan Modal
Mahalnya biaya kampanye dalam ajang Pilpres ataupun Pilkada tak bisa lagi dimungkiri. Sistem demokrasi yang dianut negeri ini mendorong para kandidat mengerahkan segala upayanya termasuk dengan menguras ketersediaan dana yang dimiliki. Jika pun biaya yang dibutuhkan tidak mencukupi, mereka tak segan melobi pihak tertentu baik pada personal ataupun lembaga keuangan. Tak heran, aksi gadai SK mereka pilih sebagai jalan cepat untuk melunasi dana kampanye sebelumnya. Apalagi keterpilihan mereka di legislatif misalnya, harus diiringi dengan seremonial tasyakuran yang pastinya butuh dana segar. Beban pengeluaran ini sepertinya tidak berhenti di situ saja, akan ada pengeluaran lain yang tidak bisa diprediksi besarannya selain harus melunasi utang kampanye.
Meski sangat mahal biaya politik dalam sistem demokrasi nyatanya membuat banyak orang dan elit parpol berbondong-bondong ikut kontestasi Pileg. Bahkan beberapa bulan sebelum pesta demokrasi dimulai, para caleg saling unjuk kebaikan dan obral janji ke sana kemari. Ada yang blusukan ke desa-desa, merangkul tokoh pesantren, mengadakan pasar murah, memberi pelayanan kesehatan gratis, bagi-bagi kaos, membelikan perlengkapan masjid seperti karpet, speaker dan sejenisnya.
Sihir apa sebenarnya yang dimiliki demokrasi hingga berbagai cara mereka lakukan untuk menjadi anggota dewan?
Jika dianalisa mengapa banyak yang tergiur menjadi pejabat atau elit politik, setidaknya ada beberapa kemungkinan besar. Pertama, menaikan status sosial. Dengan terpilihnya menjadi anggota parlemen, maka level sosial sebagai ‘pejabat’ bisa didapat. Hal ini tentu saja menjadi satu kebanggaan tersendiri bagi individu calon dan keluarganya dari aspek kekayaan, penghormatan, penghargaan atau kemudahan.
Kedua, bagi caleg yang notabene pengusaha, keterpilihannya di legislatif bisa mengamankan posisi. Apalagi jika bisnisnya berada di ranah abu-abu secara hukum, tidak melanggar hukum tapi tidak bisa dikatakan legal juga. Mereka memutuskan terjun ke politik semata untuk mengamankan posisi bisnis mereka.
Ketiga, untuk berinvestasi. Investasi di sini bukan mengambil keuntungan finansial secara langsung tapi lebih kepada investasi jaringan. Maksudnya, ketika suatu saat bisnis mereka ada masalah maka mereka sudah punya koneksi untuk membereskannya.
Jabatan atau kekuasaan yang didapat dalam sistem demokrasi memang tidak lepas dari modal finansial, karenanya ketika kekuasaan telah diraih maka kekuasaan itu dimanfaatkan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya guna membayar modal yang dulu dikeluarkan, dan untuk meraih kekuasaan yang lebih lama atau lebih besar lagi. Pantas kiranya dalam sistem politik semacam ini janji bekerja untuk rakyat hanyalah dusta, sebab yang jadi fokus utama tetaplah kepentingan diri dan kelompok yang mengusungnya.
Dengan gambaran di atas, suatu keniscayaan jika wakil rakyat di parlemen tidak mampu menjadi representasi umat ke arah yang lebih baik. Keberadaan mereka sebagai wakil umat hanya sekedar formalitas di atas kertas. Riilnya, mereka adalah wakil parpol dan alat para kapital untuk memuluskan usaha dan korporatnya. Sungguh luar biasa sihir demokrasi. Kemilau jabatan begitu mempesona hingga lupa tujuannya membela rakyat jelata.
Politik dalam Islam, Mudah dan Amanah
Dalam sistem pemerintahan Islam, para wakil rakyat (majlis umat) dipilih langsung oleh masyarakat melalui majelis wilayah di masing-masing daerah. Para wakil rakyat ini adalah sosok-sosok yang memiliki kualifikasi dan kapabilitas yang cukup dikenal di tengah masyarakat. Selain memiliki sifat jujur, amanah, bertanggung jawab, juga menjadi representasi kepentingan publik kepada pemerintah (khalifah).
Jika dalam sistem demokrasi dengan trias politikanya telah memberikan hak legislasi kepada parlemen, maka majelis umat di dalam negara Islam merupakan representasi dari rakyat di seluruh dunia tidak mempunyai fungsi legislasi. Fungsi majelis umat adalah fungsi syura dan muhasabah (kontrol)
Fungsi syura dan muhasabah ini jelas berbeda dengan fungsi legislasi parlemen. Syura merupakan aktivitas mengambil pendapat yang dilakukan di dalam majelis. Yakni menyangkut hukum syarak, akademik serta strategi tertentu. Tolok ukur yang digunakan untuk mengambil pendapat adalah pendapat yang paling benar (kuat secara dalil), bukan suara mayoritas. Begitu pula terkait akademik dan strategi, kebenaran tidak dikembalikan pada suara mayoritas tapi pada pakar yang ahli di bidangnya.
Jika dalam negara demokrasi produk legislasi parlemen mengikat eksekutif dan yudikatif, maka tidak bagi produk majelis syura dalam Islam. Ia tidak mengikat, baik pada khalifah maupun yang lain. Selain itu, otoritas pembuatan konstitusi dan perundang-undangan ada di tangan khalifah sebagaimana ketentuan syariat. Meski begitu, diperbolehkan bagi khalifah mengadopsi pendapat majelis umat, tapi sifatnya tidak mengikat.
Selain itu, para calon majelis umat ini dibolehkan untuk kampanye, tapi tentu saja dengan biaya yang relatif kecil karena sempitnya waktu pemilihan (maksimal 3 hari, tiga malam). Bahkan peluang melakukan kecurangan semisal suap, kampanye hitam, hate speech dan lainnya sangat kecil kemungkinannya. Rasulullah saw. telah bersabda: “Mencela dan menyerang orang Islam itu merupakan bentuk kefasikan.” (HR. Bukhari)
Begitu juga dengan praktik suap, kecil sekali kemungkinannya terjadi dalam sistem pemerintahan Islam. Karena Islam melarang keras suap (money politics), maka hanya mereka yang secara natural sudah lama dikenal karena ilmu, kepribadian dan kiprahnya di tengah umat saja yang akan dengan mudah meraih dukungan. Bukan pemimpin palsu, yakni mereka yang memanfaatkan media dan pemodal untuk membentuk citra diri dan menebar duit.
Wallahu a’lam bisshawab