MALANG (Arrahmah.com) – Aksi penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan tim Detasemen Khusus anti teror, menyisakan kenangan tak mengenakkan bagi Jefry Rahmawan dan 13 muridnya di pondok pesantren Kota Malang. Hingga kini, isak tangis dan ketakutan para muridnya masih membekas kuat di kepalanya.
Hari itu, Kamis 26 Maret 2015, seperti biasa, Jefry yang berprofesi sebagai guru membaca Al Quran tengah menunaikan tugasnya. Bersama 13 muridnya, mereka khusyuk belajar di ruang kelas.
“Waktu itu saya sedang mengajar sejarah tentang Rasulullah, Nabi Muhammad SAW. Cerita tentang Abu Tholib, paman Rasul,” tutur Jefry kepada VIVA.co.id, Jumat 27 Maret 2015.
Namun mendadak ketenangan itu terusik. Sekira pukul 10.00, secara mendadak pintu kelas mereka terdengar suara keras. Rupanya ada yang mendobrak.
Saat itulah menyusul di belakang puluhan polisi berseragam hitam dan bersenjata lengkap masuk sambil menodongkan senjata laras panjang kepada seluruh penghuni kelas.
Sontak, suasana itu langsung membuat panik seisi kelas. Anak-anak yang masih berusia rata-rata 10 tahun, langsung berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
“Saya tidak mendengar ada suara pak RT meminta masuk sebelumnya. Kami terkejut dan murid saya ada yang ditodong, sambil bertanya siapa nama kamu!” kenang Jefry.
Kepanikan itu tak berakhir disitu. Anak-anak yang sudah menangis diusir keluar. Tinggal menyisakan sejumlah polisi bersenjata lengkap. Untuk melakukan penggeledahan di pondok pesantren itu selama satu jam.
Jefry pun digelandang ke Polres Kota Malang. Selama hampir lima jam ia diperiksa maraton. Belasan pertanyaan pun dijejalkan kepada Jefry. “Saya ditanya apakah pernah mengajarkan ISIS, kaitan pondok dengan ISIS, dan apakah siswa di sini adalah anak-anak yang ditinggal orang tuanya ikut ISIS,” kata Jefry.
Terpisah, Kapolres Kota Malang, AKBP Singgamata, membantah keras jika ada tim Densus 88 yang menodongkan senjatanya kepada anak-anak di pondok pesantren Jefry.
Dia mengklaim, langkah pendobrakan pintu dan lainnya sudah dilakukan sesuai prosedur. “Itu sudah melalui proses persuasif. Kami ajak pak RT dan Polwan untuk mengetuk pintu dan ijin masuk. Tapi permintaan itu tidak direspon,” kata Singgamata.
Trauma
Tak pelak, peristiwa penggerebekan dan penangkapan Jefry pada Kamis pagi itu, berimbas pada kondusifitas proses belajar dan mengajar di pondok pesantren tempat Jefry bekerja.
Hingga Jumat 27 Maret, dari pengamatan Jefry, tidak sedikit siswa yang berubah perilakunya. Ia meyakini, kejadian itu akan menjadi ingatan yang tak bisa dilupakan begitu saja oleh para muridnya.
“Hari ini (Jumat, 27 Maret), masih ada yang melamun di depan tangga dan memikirkan kejadian kemarin,” tutur guru yang menjadi satu-satunya pria diantara enam pengajar di pondok pesantren ini. (azm/arrahmah.com)